Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pembatasan Tinggal Diumumkan

Pemerintah Tak Tegas soal BBM

Kompas.com - 25/04/2012, 06:20 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana membatasi penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi hampir dipastikan akan diambil pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal. Pengumuman atas kebijakan itu tinggal menunggu waktu yang tepat sembari pemerintah terus mendalami opsi tersebut.

”Kami masih tetap mendalami (opsi pembatasan) itu. Hal-hal yang terkait opsi tersebut akan disampaikan pada saat yang tepat. Jadi, jangan dispekulasikan dulu. Ide bagus itu tidak hanya berhenti pada ide, tetapi juga harus diimplementasikan dan diterima mayoritas masyarakat,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Selasa (24/4/2012), seusai Rapat Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta. Rapat dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan belum diumumkannya kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi itu, menurut Hatta, bukan berarti pemerintah batal mengambil kebijakan tersebut. ”Kita belum menentukan tanggalnya, tetapi kita sudah memiliki perencanaan. Tinggal diumumkan. Tunggu saja,” katanya.

Penegasan Hatta ini menunjukkan, pemerintah tidak tegas dalam kebijakan BBM. Sebab, sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan, pemerintah akan menerapkan kebijakan pengendalian BBM bersubsidi.

Jero Wacik bahkan menegaskan, kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini akan diterapkan pada mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas. Artinya, mobil dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke atas harus menggunakan BBM nonsubsidi yang saat ini harganya sekitar Rp 10.000 per liter. Kebijakan pengendalian ini akan diterapkan 1 Mei di kawasan Jabodetabek dan secara bertahap diterapkan di Jawa-Bali.

Hatta pada 20 April lalu juga menegaskan, paket program pengendalian BBM bersubsidi akan difinalkan pemerintah pada 24 April 2012. ”Nanti Presiden akan pidato dan saya akan menyampaikan satu paparan final dalam rapat kabinet pada tanggal 24,” ujar Hatta saat itu (Kompas, 21 April).

Pertumbuhan 6,5 persen

Saat membuka rapat, Presiden menyatakan, pemerintah harus benar-benar serius menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen serta menjaga fiskal tetap aman tanpa harus melakukan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lagi.

”Dengan harga BBM yang tidak naik dewasa ini, harus ada opsi dan solusi lain. Kalau tidak ada tindakan-tindakan lain yang kita lakukan dengan penuh tanggung jawab, perekonomian kita menuju ke arah yang tidak sehat. Itu tidak kita kehendaki,” kata Presiden.

Menurut Hatta, peran pemerintah daerah cukup penting dalam pengendalian kuota BBM bersubsidi. Hal ini mengingat kuota itu ditentukan pemda dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas. Pemda harus mengawasi penyimpangan yang mungkin terjadi akibat penggunaan BBM bersubsidi yang tidak tepat.

Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani menegaskan, ketidakpastian dalam masyarakat semakin berlipat ganda dengan pernyataan Hatta Rajasa. Sebab, Hatta hanya mengumumkan bahwa pengendalian BBM masih dalam tahap pendalaman.

Sebelumnya, ujar Aviliani, ketidakpastian pada masyarakat timbul terkait Pasal 7 Ayat (6A) Undang-Undang APBN-P 2012 yang memberikan ruang bagi pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sewaktu-waktu.

Efek ketidakpastian itu di bidang ekonomi, menurut dia, setidaknya ada dua hal. Pertama adalah ekspektasi inflasi akan semakin besar. Kedua, investor di sektor finansial cenderung bersikap menunggu.

Ia menambahkan, pihak KEN sudah memberikan masukan sebelum sidang kabinet yang dilanjutkan dengan pengumuman oleh Hatta. Presiden bersama sejumlah menteri di bidang perekonomian mendengarkan masukan dari KEN. ”Salah satu yang diusulkan KEN adalah memberikan kepastian kepada masyarakat soal harga BBM bersubsidi,” ujarnya.

”KEN sudah mengusulkan, sebaiknya pemerintah mengumumkan harga BBM tidak naik sampai akhir tahun, tetapi diikuti dengan program pembatasan BBM bersubsidi yang harus dilakukan secepatnya sesuai kesiapan para pemangku kepentingan, seperti pemda dan SPBU,” kata Aviliani.

Menurut perhitungan KEN, keuangan negara akan tetap sehat meskipun harga BBM bersubsidi tidak naik sampai akhir tahun. Namun, hal ini harus dibarengi dengan program pengendalian BBM bersubsidi yang paling lambat harus sudah mulai dilakukan pada Juli 2012.

Asumsinya, pemerintah dan DPR dalam pembahasan RAPBN-P 2012 belum memperhitungkan penerimaan negara yang juga akan naik akibat kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Hal ini tentunya bisa menjadi faktor penyeimbang.

”Prinsipnya, APBN aman tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi harus diikuti dengan program pembatasan yang paling lambat dilaksanakan bulan Juli karena biasanya sampai dengan bulan ke-6, cash flow pemerintah masih aman,” katanya.

Sistem stiker merepotkan

Sementara itu, pengusaha dan pengurus stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) akan direpotkan oleh peraturan baru terkait pembatasan penggunaan Premium. Hal ini karena selain menjual BBM, kenyataannya SPBU juga harus melakukan pengawasan siapa saja yang berhak dan tidak berhak mendapatkan BBM bersubsidi.

Ketua Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Malang Teuku Rizal Pahlevi, Selasa, menjelaskan, meski SPBU tetap akan mematuhi keputusan dan kebijakan pemerintah dalam hal ekonomi BBM, di lapangan yang berhadapan dengan masyarakat adalah pengusaha SPBU dan karyawannya. Belum lagi pengusaha juga memikirkan biaya sistem pemeriksaan stiker yang mungkin harus ditambahkan.

”Tidak mudah membatasi pengaturan penjualan jenis BBM tertentu hanya pada kendaraan tertentu. Tidak mudah meminta kesadaran masyarakat untuk sukarela membeli BBM Pertamax yang harganya pasti mahal karena mencapai lebih dari Rp 10.000 per liter, padahal sebelumnya Rp 6.000 per liter,” katanya.

Hiswana Migas sejak semula juga sudah dimintai pendapat oleh pemerintah sehubungan dengan rencana kenaikan harga BBM yang ternyata batal itu. Jadi, keputusan pemerintah membatasi penjualan BBM Premium juga telah mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan pengusaha SPBU sebagai pengecer.

Sebelum ini, pengusaha SPBU yang merupakan anggota Hiswana Migas juga telah dibuat kerepotan selama demonstrasi berlangsung saat banyak protes terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM. ”Saat itu, pengusaha harus menambah pengeluaran untuk meningkatkan keamanan SPBU. Padahal, nanti jika harga Pertamax benar-benar telah naik, belum tentu tidak ada demo lagi,” ungkapnya.

Pertambahan beban jumlah karyawan mungkin harus dilakukan untuk meningkatkan ketertiban SPBU saat ada kendaraan yang ditolak mengisi Premium.

Namun, selama ini pengusaha SPBU tidak bisa dengan leluasa menambah jumlah karyawan karena harus menyesuaikan dengan besaran keuntungan.

Artinya, jika SPBU harus menambah tenaga untuk mengontrol kartu atau stiker dan meningkatkan pengamanan antara yang berhak mendapat Premium dan tidak, akan berat bagi SPBU.

Saat ini, dengan penghasilan SPBU sebesar Rp 180-Rp 190 per liter, SPBU hanya bisa hidup jika omzet penjualannya lebih dari 20 ton sehari. Jika tidak, akan sangat berat menghidupi operasi perusahaan. (HWY/LAS/ODY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com