Denpasar, Kompas
”Saat ini saya memulai dari lingkungan kerja di provinsi. Setiap ada acara seremonial tidak boleh menggunakan buah impor. Saya melarangnya,” kata Pastika di Denpasar, Selasa (19/2).
Sejumlah akademisi dan periset mengakui, soal bentuk, warna, hingga rasa, buah lokal bisa saja kalah dari buah impor. Namun, soal kandungan vitamin, buah lokal dijamin lebih baik.
Pastika mengakui tidak mudah mengajak seluruh masyarakat Bali, terutama saat upacara adat, dan kalangan pengusaha perhotelan/pariwisata terus menggunakan buah lokal. Karena itu, dia setuju jika DPRD memiliki inisiatif ajakan tersebut dengan payung hukum.
Ia bersama jajaran Dinas Pertanian dan Hortikultura Tanaman Pangan Bali memaparkan proyeksi kebutuhan dan peluang penyerapan produk buah lokal berdasarkan konsumsi riil. Pada tahun 2011, proyeksi total kebutuhan buah bagi wisatawan dan penduduk lokal di Bali sebanyak 48.906.123 kilogram.
Asumsinya kedatangan wisatawan (mancanegara dan domestik) ke Bali pada tahun 2011 sekitar 7 juta orang. Sementara penduduk Bali pada Juni 2011 berjumlah 3.971.259 orang.
Sementara itu, produksi buah utama di Bali diproyeksi sekitar 244 juta kilogram. Itu berarti ada potensi dan peluang besar untuk pengembangan serta penyerapan buah lokal secara lebih optimal.
Ketua DPRD Bali Cokorda Ratmadi menegaskan, pihaknya tidak bisa berdiam diri soal buah lokal ini. Jika tidak segera dibuatkan peraturan daerahnya, ujarnya, buah lokal Bali hanya dinikmati di luar pulau atau di negara lain.
Buah lokal yang diperdagangkan ke luar Bali pada tahun 2011 antara lain manggis, salak, dan jeruk. Perkembangan ekspor yang cukup mencolok antara lain buah manggis yang terus naik, dari 20 ton tahun 2004 menjadi 1.072 ton tahun 2011.