KOMPAS.com - Dalam berbagai forum internasional yang membahas teknologi informasi dan komunikasi, Indonesia salah satu pangsa pasar dunia yang selalu disebut dan dilirik. Dilirik dalam pengertian, inilah tanah dengan penduduknya yang haus mengonsumsi barang-barang mewah atau dikesankan mewah.
Yang laris di Indonesia tak semua barang yang benar- benar mewah. Barang yang dikesankan atau dicitrakan mewah, keren, bermanfaat, berteknologi tinggi pun dilahap pasar.
Hiruk pikuk dan hajat setiap rumah tangga di Indonesia bisa dibilang didominasi satu hal, yaitu hasrat untuk menggunakan gadget mewah dengan fitur canggih. Di negeri ini, urusan yang sebenarnya sederhana ini akhirnya menjadi pelik.
Lihatlah berbagai berita di media massa, sampai-sampai ada anak yang bunuh diri gara-gara orangtuanya tak mampu membelikan telepon seluler (ponsel) canggih.
"Aktivis ... Bunuh Diri...Karena Tidak Dibelikan BlackBerry", ada juga "Tak Dibelikan HP, Bunuh Diri", itu adalah judul berita di media massa yang benar-benar terjadi. Ada juga yang bunuh diri gara-gara ponsel yang dibelikan ibunya tak bisa digunakan untuk mengakses Facebook.
Produk digital juga ditanggapi konsumen dengan cara yang sama. Kita pasti sudah menjadi pengguna sehingga tahu bagaimana situ-situs jejaring sosial menggaet popularitas secara mudah di Indonesia, bahkan lebih heboh di negara pembuatnya atau negara maju lain.
"Ini terjadi karena karakter orang Indonesia yang mudah terpengaruh. Jadi, ketika suatu jenis gadget sedang booming, semua ikut berpindah dengan alasan supaya tidak ketinggalan zaman, supaya tidak dicap enggak gaul," kata Ineke Yulianti, mahasiswa jurusan Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta.
Kita hanya menyaksikan bagaimana manusia-manusia heboh dan berbondong-bondong, bahkan cenderung berlomba-lomba, mengonsumsi berbagai produk itu tanpa perlawanan. Tanpa ada dorongan ingin membuat sesuatu untuk menandinginya, atau setidaknya membuntutinya.
Di Indonesia, kita baru memiliki segelintir generasi muda yang berani menawarkan sesuatu yang baru kepada masyarakat walau harus berhadapan dengan brand global. Beberapa di antaranya memang masih berjibaku dengan pendapatan yang pas-pasan, tetapi sebagian lagi sudah menikmati keuntungan ekonomi.
Misalnya Koprol.com yang menawarkan jejaring sosial berbasis lokasi buatan anak bangsa yang akhirnya sukses dan digaet Yahoo. Atau, SITTI, sebuah platform iklan kontekstual berbahasa Indonesia yang dengan penuh semangat berani menantang iklan kontekstual Google Adwords.