Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KONSOLIDASI DEMOKRASI BANGKA BELITUNG (3)

Pergolakan demi Timah Terulang Lagi

Kompas.com - 01/12/2011, 02:22 WIB

Kris Mada dan Iwan Santosa

April 1812, Perang Napoleon antara Perancis-Belanda dan Inggris merambat ke wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Inggris di bawah Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Kolonel Robert Gillespie menyerbu Kesultanan Palembang pimpinan Mahmud Badaruddin II itu demi menguasai timah di Bangka.

Raffles dalam berbagai surat kepada Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, menegaskan pentingnya menguasai Bangka karena kekayaan timahnya. Oleh karena itu, setelah menggilas pasukan Napoleon di Jawa yang dipimpin Jean Guillaume (dalam bahasa Belanda disebut Jan Willem) Janssens, Raffles mengarahkan pasukan ke Palembang yang kala itu menguasai penambangan timah di Bangka dan lama berkongsi dengan Belanda lewat perdagangan lada (Piper nigrum) dan timah.

Serangan Raffles itu membuktikan timah sudah mempunyai nilai ekonomi dan politik sejak dulu. Kini, 199 tahun sejak aksi militer Raffles, nilai itu tetap bertahan di Bangka dan Belitung. Bahkan, nilai itu semakin kuat selepas Bangka dan Belitung membentuk provinsi sendiri yang terpisah dari Sumatera Selatan pada 2000.

Reinout Vos dalam buku Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightrope of Diplomacy in the Malay World 1740-1800 terbitan KITLV Belanda tahun 1994 dengan gamblang memaparkan betapa penguasaan timah menjadi salah satu faktor penentu dalam persaingan ekspansi serikat dagang Eropa dan sejumlah Kesultanan di sekitar Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Dewasa ini, relasi timah dan politik, antara lain diakui mantan anggota DPRD Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Hazil Ma’ruf. Semasa menjadi anggota DPRD Bangka, ia pernah didatangi pengusaha kapal isap pasir timah. Pengusaha itu membawa uang tunai ratusan juta rupiah. Uang tersebut akan diberikan kepada Hazil kalau dia mau mendukung pengoperasian kapal isap di perairan Pesaren, Bangka, yang merupakan wilayah konstituennya.

”Saya menolak tawaran itu karena kompensasi untuk konstituen tidak jelas. Pengoperasian kapal isap akan menghancurkan daerah tangkapan warga Pesaren yang hampir seluruhnya nelayan. Para nelayan bertekat melawan, bahkan kalau perlu, membakar kapal isap timah,” paparnya, Rabu (23/11), di Belinyu, Bangka.

Bentrokan antara petambang timah dan kelompok nelayan memang tidak mengada-ada. A Kioen, nelayan warga Pesaren, mengaku, meski tidak ada kapal isap yang beroperasi di dekat mereka, keberadaan kapal isap timah pada musim tertentu mengakibatkan tangkapan merosot tajam akibat keruhnya air laut di pesisir Pesaren.

Sumbangan politik

Presiden Asosiasi Timah Indonesia Hidayat Arsani mengatakan tidak dapat ditampik, pengusaha timah banyak menyumbang kepada politisi di Bangka Belitung. Namun, ia tidak menjawab tegas apakah sumbangan itu diiringi permintaan untuk menyukseskan bisnis timah atau tidak. ”Politik perlu biaya. Di Bangka Belitung, sebagian biaya itu disumbang oleh pengusaha timah. Mereka menyumbang ke semua tokoh dan partai politik yang dihitung sebagai biaya ’pengamanan’ investasi,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com