Dari ketiganya, hanya pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf yang bersedia menandatanganinya. Sebaliknya, pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana dan Agum Gumelar- Nu’man Abdul Hakim menolak dengan alasan kontrak itu sebagai bentuk penekanan (pemaksaan).
Namun, mahasiswa berpandangan lain. ”Kontrak politik sengaja kami ajukan agar mereka tak hanya mengumbar janji kampanye dan lalu dilupakan begitu saja saat menjabat. Kalau serius, mereka seharusnya tidak perlu takut,” kata Presiden BEM Unpad Reza Fathurrahman.
Mahasiswa menyepakati hanya akan memilih calon yang punya komitmen kuat terhadap janji. ”Inilah yang terpenting. Jika tidak, ya kami tak akan (memilih),” ujar Reza.
Dialog Paguyuban Rektor se-Jabar beberapa waktu lalu menyimpulkan, provinsi itu dihadang banyak masalah, terutama pangan, ekonomi, energi, dan lapangan kerja. Jadi, dibutuhkan program kerja yang riil, realistis, dan berkesinambungan.
Yang perlu ditangani segera, kata Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Nanat Fatah Natsir, adalah kemiskinan. Masalah itu terkait erat dengan kesehatan dan pendidikan. Jumlah warga miskin kini mencapai 25 persen dari 32 juta penduduk Jabar. Namun, komitmen calon kepala daerah untuk menangani masalah itu belum terlihat.
Rektor ITB Djoko Santoso mengatakan, pemerintah harus bersinergi dengan perguruan tinggi dan masyarakat. Sinergi itu yang selama ini belum terlihat di Jabar. Nota kesepahaman yang dibuat hanya menjadi macan kertas.
”Percuma kalau bertepuk sebelah tangan. Menawarkan (hasil penelitian), tetapi tidak antusias disikapi,” kata Ketua Forum Rektor Indonesia ini.
Kini, di Jabar beroperasi sekitar 432 perguruan tinggi swasta serta delapan perguruan tinggi negeri dan kedinasan. Diselorohkan Nanat Fatah, dengan satu komando saja, potensi besar itu mampu digerakkan. (Yulvianus Harjono)