Berbagai perlawanan bisa jadi contoh, antara lain Perang Diponegoro (1825-1930), perlawanan petani di Banten, Kiai Kasan Mukmin di Krian Sidoarjo (1854-1904), pemberontakan pajak di Ponorogo, gerakan Ahmad Ngisa (1859), dan Srikaton (1880).
Dalam agama Kristen, gejalanya terlihat pada gerakan Kiai Sadrah di Bagelen dan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di Pati.
Khusus Perang Diponegoro, mobilisasi massa efektif akibat kepercayaan bahwa Diponegoro memperoleh pulung mistis dari Ratu Adil untuk memimpin Perang Jawa dengan gelar Sayidin Panatagama (pengatur agama).
”Mobilisasi Perang Diponegoro berhasil karena digalang secara sistematis dengan membentuk sistem perlawanan lengkap dengan panglima perang Alibasah Sentot Prawiradirja, angkatan perang, dan dukungan ulama (Kiai Mojo),” kata Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sardono W Kusumo, yang pernah membuat Opera Pangeran Diponegoro.
Pada masa kemerdekaan, organisasi Syarikat Islam dibentuk juga dengan bayang-bayang Ratu Adil. Begitu pula Soekarno, ”Sang Putra Fajar”, berhasil menggalang solidaritas kebangsaan dengan memanfaatkan kerinduan rakyat akan Ratu Adil.
Kembali ke konteks sekarang, apa yang mesti kita refleksikan dari kasus Ponari?
”Ponari mendorong kita untuk jeda sejenak dan berkaca, sejauh mana harapan bawah sadar kita terpenuhi? Janganlah kita berhenti pada kepercayaan akan pencerahan rasional, kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi, atau pada program formal pemerintah saja. Kita butuh pendekatan kemanusiaan yang transendental, utuh, dan memenuhi harapan masyarakat,” kata Sindhunata. (Budi Suwarna, Ilham Khoiri, dan Ingki Rinaldi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.