JAKARTA, KOMPAS.com —
Kenaikan itu dapat dilihat secara kasatmata di perempatan jalanan Ibu Kota ataupun di kota kecil. Dengan mudah kita dapat menjumpai anak lelaki atau perempuan meminta-minta atau mengamen. Padahal, fenomena anak jalanan seperti itu sebelum tahun 2000 hanya bisa dilihat di kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya.
Tak kunjung teratasinya perlindungan anak karena kecenderungan kebijakan tidak berpihak kepada anak. Ini terlihat antara lain dari anggaran untuk perlindungan anak yang terus menurun. Tahun 2005 mencapai Rp 274 miliar, tahun ini hanya dialokasikan Rp 147 miliar.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Makmur Sunusi pekan lalu menyatakan, akar dari terus meningkatnya jumlah anak jalanan terutama karena kemiskinan, perceraian orangtua, serta kemalasan dan kurang tanggung jawab orangtua sehingga menjadikan anak sebagai pencari nafkah bagi keluarga.
Jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 mencapai 79,8 juta anak. Mereka yang masuk kategori telantar dan hampir telantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen. Anak jalanan menurut Kementerian Sosial termasuk anak telantar.
Akan tetapi, peningkatan angka anak jalanan ternyata tidak sejalan dengan angka kemiskinan versi BPS yang justru terus berkurang. Pada tahun 2007, menurut BPS, jumlah orang miskin 37 juta, turun menjadi 34,9 juta (2008), lalu 32 juta orang (2009).
Namun, jika memakai angka pendapatan per kapita 2 dollar AS per hari sesuai dengan standar kemiskinan versi Bank Dunia, di Indonesia masih ada 100 juta orang miskin.
Makmur Sunusi dalam wawancara dan forum dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR pada Kamis (28/1/2010) menyatakan, peningkatan anak jalanan juga terjadi akibat cakupan pemerintah dalam penanganan anak bermasalah tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi anak kategori telantar.