Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan-perempuan Pengusaha Batik Rembang

Kompas.com - 01/04/2010, 11:35 WIB

Belakangan, IPI mencoba mengenalkan cap kepada perempuan pembatik. Selama ini cap dianggap sebagai pekerjaan untuk laki-laki karena alat cap yang terbuat dari logam cukup berat.

Di rumah tangga, pembagian peran juga tak terlalu ketat. Perempuan terbiasa ke luar rumah mengerjakan pekerjaan bernilai ekonomi. Tak jarang penghasilan mereka menjadi tiang penting rumah tangga karena penghasilannya lebih tetap.

Memburuh batik artinya meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, bahkan kadang meninggalkan desa. Sebagian perempuan Pancur bersepeda sejauh 50 kilometer ke Lasem untuk memburuh batik.

Di rumah, meskipun sebagian kerja rumah tangga dikerjakan perempuan, para suami dan anak laki-laki tidak keberatan membantu.

"Bapak-bapak membolehkan kami ke Jakarta karena kami belum pernah ke Jakarta dan ini untuk pemasaran batik kami. Mereka bisa masak sendiri dan ada yang anaknya sudah besar, bisa bantu ngurus rumah," kata Mariyati.

Jam kerja anggota KUB pukul 08.00-16.00. Sesampai di rumah, Mariyati dan Ramini mencuci baju dan bersih-bersih rumah, lalu beristirahat sejenak selepas magrib hingga pukul 19.00. Setelah itu, Mariyati membatik sampai pukul 22.00. Dia bangun pukul 04.00 untuk masak dan membereskan rumah. "Suami dan anak-anak masih tidur ketika saya bangun," katanya.

Suami Mariyati mengojek malam hari. Pada musim hujan, dia menggarap sawah milik orangtua. Saat musim kemarau, dia menjaga dan membersihkan rumah. Dengan cara ini, Mariyati dan ibu-ibu KUB bisa bekerja di luar rumah, mendapat penghasilan, dan aktualisasi diri. Di Pancur, itu dimungkinkan, karena relasi dalam rumah tangga lebih egaliter.

Beragam
Lasem terkenal sebagai salah satu sentra batik penting di Jawa pada akhir abad ke-19. Warna merah batik Lasem sangat khas yang dipercaya karena pengaruh air tanah dan iklim setempat.

Invasi Jepang pada 1942-1945 membuat semua usaha batik tutup. "Di Pekalongan lahir corak hokokai, tetapi di Lasem tak tampak pengaruh Jepang," kata Kwan.

Setelah itu, batik Lasem lambat bangkit kembali karena pemakai kain tinggal para perempuan Tionghoa lanjut usia, sementara pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif lokcan) dan Suriname pun berubah selera.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com