Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Totalitas Teknologi Informasi "Microfinance"

Kompas.com - 20/10/2010, 12:11 WIB

Oleh Dimitri Mahayana Imaji saya, tak lama setelah Komite Nobel 2007 memberikan penghargaan Nobel bidang ekonomi kepada Muhammad Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, langsung tertuju ke Tanah Air tercinta. Begitu banyak kesamaan statistikal makro ekonomi yang terjadi di Bangladesh dengan Indonesia. Malahan, setelah saya membaca hasil survei BPS 2010, beberapa indikator di negeri ini lebih baik adanya.

Betapa tidak. Jika angka rata-rata keluarga miskin di Bangladesh mencapai hampir 50 persen, survei BPS menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 14,15 persen. Demikian pula tingkat kepemilikan rekening bank.

Data World Bank via publikasi Demirguc-Kunt, Beck dan Honohan, pada 2007 juga mengungkapkan dari 50 juta pemilik account bank di Indonesia, sekitar 20-40 persen diantaranya memiliki lebih dari satu rekening.

Angka ini jauh dari yang terjadi di Bangladesh. Dengan jumlah penduduk miskin lebih banyak, memiliki rekening bank di negeri beribukota Dhaka itu, justru dianggap sebuah kemewahan. Bukan budaya menabung.

Situasi inilah yang membuat munculnya potensi besar dalam lembaga pembiayaan mikro (microfinance). Hal ini terbukti, karena dari 25,13 juta nasabah Grameen Bank pada tahun 2008 lalu, mayoritas berasal dari keluarga tidak mampu.

Dari nasabah tersebut, mengacu penelitian kami di Sharing Vision, tercatat jumlah peminjam/debitur aktif tahunan sebesar 10 juta orang sementara penabung aktif berkisar 9 juta nomor rekening.

Jika dibandingkan, angka ini sangat kompetitif dengan yang diraih BRI, perbankan Tanah Air yang sejak lama fokus di microfinance. BRI pada tahun 2008 lalu memiliki peminjam aktif 8 juta serta penabung aktif 13 juta nomor.

Wajar muncul pertanyaan, mengapa kesuksesan Grameen Bank tersebut, seolah-olah tak kunjung merebak dalam genggaman bangsa ini? Jika melihat indikator sekilas, bukankah sepatutnya kita lebih mudah merealisasikan —bahkan melampauinya?

Berdasarkan riset Sharing Vision dan hasil workshop yang kami lakukan dengan M. Sjahjahan, General Manager Grameen Bank (yang juga deputi Muhammad Yunus), di Singapura, 18-19 Juni lalu, ada dua penyebab utama.

Pertama, implementasi teknologi informasi/TI sebagai ruh aktivitas lembaga keuangan, belum optimal dipraktekkan di berbagai institusi pembiayaan Indonesia. Kalaupun diterapkan, masih banyak yang memandang sebagai cost, bukan investasi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com