Dengan demikian, setiap musim buah, Subari bisa memperoleh minimal Rp 100 juta dari hasil panennya. ”Sebagian lagi (durian dan duku) dinikmati dan dibagi-bagikan untuk keluarga besar,” katanya.
Mengenai minimnya panen sekarang ini, Subari menceritakan, sebenarnya dua bulan lalu pohon-pohon durian dan duku sudah mulai berbunga. Tapi, curah hujan tinggi sehingga bunga-bunga tersebut tidak menghasilkan buah. Itulah sebabnya, petani tak dapat memanen apa pun di kebun mereka.
Kecamatan Kumpeh Ulu merupakan pemasok terbesar durian dan duku asal Jambi. Hampir setiap penduduk setempat memiliki jenis buah ini secara turun-temurun. Pada musim buah, harga durian di tingkat pedagang bisa hanya Rp 3.000- Rp 5.000 per buah.
Namun, kali ini, dengan ukuran buah yang sama besarnya, harga satu buah durian Rp 12.000-Rp 15.000. Harga jual duku pun begitu, yang dulunya hanya Rp 3.500, kini mencapai Rp 15.000 per kilogram.
Prapto, pedagang buah di kawasan Talang Banjar, Jambi, mengatakan, sangat sulit mendapatkan buah durian dan duku di kebun warga. Ia harus berkendara sejauh 60 kilometer dari Kumpeh Ulu menuju Kumpeh Ilir untuk membeli durian langsung dari petani. ”Kalau di Kumpeh Ilir, masih ada sebagian kebun yang berbuah karena di sana tidak banyak hujan,” ujarnya.
Terkait masalah perubahan iklim ini, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Armandelis, mengimbau agar masyarakat jangan terlalu menggantungkan perekonomian pada komoditas yang hasilnya dipetik secara tahunan. ”Masyarakat perlu menyisihkan sebagian lahannya untuk tanaman pangan, supaya tetap memperoleh penghasilan di saat durian dan duku tak berbuah,” katanya.