Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kuantar Surat ke Ujung Nusantara

Kompas.com - 14/08/2011, 01:39 WIB

Aryo Wisanggeni dan mawar kusuma

Telepon, SMS, dan e-mail meringkas rentang waktu komunikasi. Rasa penasaran soal kabar siapa dan di mana terjawab dalam hitungan detik. Orang tak perlu menunggu pak pos mengantar surat balasan. Orang semakin lupa rasanya ”melangkah di udara” seperti nyanyian Vina Panduwinata dalam lagu ”Surat Cinta”.

Sudah hampir setengah jam Slamet (60) dan istrinya setia antre di Kantor Pos Jakarta Pusat, Kamis (11/8). Slamet sengaja berdandan rapi mengenakan baju batik, celana kain, dan peci hitam untuk mengambil uang pensiunan di kantor pos. ”Dulu, saya ke kantor pos untuk mengirim surat. Sekarang malah buat ambil uang pensiun dan bayar listrik,” kata Slamet.

Slamet bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia mengirim surat. Padahal, dulu suratlah yang menyampaikan luapan cinta Slamet kepada kekasih yang kini menjadi istrinya, Nur Rochmah (55).

Setiap hari, ada 300 orang yang mengantre di kantor pos di Kelurahan Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, seperti Slamet. Namun, jumlah surat pribadi yang dikirimkan dari kantor pos mungil yang menempati ruang sewa sebuah garasi rumah itu kurang dari 10 helai per bulan.

”Sekarang sudah ada handphone, jadi tak perlu lagi mengirim surat ke saudara atau anak di perantauan. Kalau bayar-bayar tetap nyaman di kantor pos karena bisa sekalian bayar air, listrik, hingga ambil uang pensiun,” tutur Slamet.

Sampai langit-langit

Sejak kantor pos pertama didirikan Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff di Batavia pada 26 Agustus 1746, layanan pos jadi bagian penting kehidupan banyak orang. Kabar yang dibawa pak pos dari jauh memengaruhi banyak peristiwa dan sejarah bangsa. Sepanjang tahun, apalagi menjelang Lebaran, kantor pos yang tersebar di Nusantara pasti disesaki kantong surat dan paket yang menggunung.

Kini, ruang sortir surat dan paket di ribuan kantor pos, seperti yang ada di Mail Processing Center (MPC) Bandung, terasa lengang kendati penuh pegawai pos bekerja. ”Lima belas tahun lalu, setiap tiga minggu sebelum Lebaran, ruangan sudah penuh surat. Kartu Lebaran bisa menggunung mencapai langit-langit ruangan,” kata Kepala Kantor MPC Bandung Salman menunjuk kantong surat yang tersebar.

Dulu, kiriman pos yang meluber di kala Lebaran memunculkan banyak kisah di balik terantarnya sebuah kiriman pos. Menjelang Lebaran, PT Pos Indonesia harus mengerahkan para pensiunan dan anak pegawai menjadi sukarelawan sortir. ”Gara-gara ’pengerahan’ itulah saya berkenalan dengan anak salah satu pegawai kantor pos dan sekarang menjadi istri saya,” kata Salman tertawa, mengenang kisah yang mungkin tak akan terulang itu.

Data PT Pos Indonesia menunjukkan, jumlah kiriman surat dan paket mencapai puncaknya pada tahun 1997, sebanyak 725 juta pucuk. Sekitar 580 juta pucuk di antaranya adalah surat atau paket pribadi, mulai dari surat cinta, surat minta kiriman uang indekos kepada orangtua, surat korespondensi dengan sahabat, sampai kartu pos atau paket berisi kiriman sambal dari kampung.

Namun, sejak itu jumlah surat dan paket terkirim terus menurun, dan pada 2010 tinggal mencapai 213,2 juta pucuk. Hanya 43 juta pucuk surat yang merupakan surat pribadi. Bahkan, seorang filatelis yang juga Wakil Kepala Bidang Proses MPC Bandung, Tantan Nurdiana, pun kian jarang menggeluti hobinya mengumpulkan prangko.

”Semakin sulit bagi saya mengumpulkan prangko karena saya juga lebih kerap berkirim kabar lewat Facebook. Bahkan, komunikasi dengan teman-teman sesama penggemar filateli pun kami lakukan lewat Facebook,” ujar Tantan.

Paket gantinya 

Direktur Utama PT Pos Indonesia I Ketut Mardjana menuturkan, perkembangan teknologi informasi dan semakin murahnya ongkos jasa telepon seluler menyurutkan minat orang berkirim surat. Namun, ternyata gelombang pasang internet dan seluler tak selalu berakibat buruk bagi PT Pos Indonesia.

”Memang surat pribadi tergantikan internet dan SMS. Namun, internet juga mengubah cara orang berbelanja. Sekarang, semakin banyak orang berbelanja di internet, semakin banyak paket dikirimkan lewat pos,” kata Mardjana. Kiriman paket yang sepuluh tahun lalu baru mencapai 1,27 juta buah per tahun, pada 2010 melonjak menjadi 8,16 juta buah per tahun.

PT Pos Indonesia juga menggenjot para pelanggan pengirim surat bisnis. Ketika jumlah orang berkirim surat pribadi terus berkurang, jumlah kiriman surat tagihan kartu kredit, tagihan polis asuransi, tagihan telepon, tagihan air PAM, dan surat bisnis lainnya justru terus bertambah.

Dengan kata lain, tukang pos pun tak selalu dinantikan. ”Dulu, orang berebut menyambut surat yang kami antar, sekarang terkadang penerima tagihan berkelit. Kadang bilang tagihan belum diterima karena takut kena denda keterlambatan pembayaran. Bahkan, orang yang bertanda tangan di resi saja bisa mengaku belum menerima surat tagihan,” kata Waino (50), pengantar pos di Bandung, tertawa.

Yang tidak terhindarkan, pendapatan PT Pos Indonesia dari jasa pengiriman pos semakin berkurang, sementara pendapatan dari jasa keuangan, termasuk mencairkan uang pensiun Slamet, semakin bertambah. PT Pos Indonesia juga berbisnis logistik, mengirim berbagai barang konsumsi ke berbagai pelosok Nusantara.

Marketing and Business Development Director PT Pos Indonesia Setyo Riyanto menyatakan, dari diversifikasi usaha itu, PT Pos Indonesia bertahan hidup. Pada 2010, PT Pos Indonesia meraih laba Rp 86 miliar dengan total pendapatan Rp 3,1 triliun.

Mardjana menyatakan, jaringan 3.780 kantor pos dan 24.000 titik layanan yang menjangkau 42 persen kelurahan/desa dan 940 lokasi transmigrasi terpencil di Indonesia merupakan kekuatan berbagai bisnis selain pengiriman pos. Namun, satu pucuk surat pribadi yang tersisa di kantor pos harus dikirim ke alamat tujuannya, ke mana pun, dengan biaya Rp 1.500.

”Kami tetap akan memenuhi kewajiban untuk mengirimkan setiap pucuk surat ke mana pun. Itu kewajiban PT Pos Indonesia memenuhi Layanan Pos Universal. Dan, kehadiran petugas pos di setiap wilayah perbatasan Indonesia adalah wujud kedaulatan efektif pemerintah atas wilayahnya. Kita wajib hadir di ujung-ujung Nusantara,” tutur Mardjana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com