Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
TANK LEOPARD

Isu di Media Massa yang Bisa Mengubah Keadaan

Kompas.com - 13/02/2012, 01:59 WIB

Belanda memosisikan diri sebagai jawara dalam penegakan hak asasi manusia di dunia. Mahkamah Internasional yang terletak di Den Haag, Belanda, menyidangkan beragam kasus kejahatan kemanusiaan dari Afrika sampai Bosnia. Sebuah langkah positif mengingat sepak terjang serdadu Belanda dalam perang di Indonesia meninggalkan noda hitam sejarah pelanggaran HAM.

”Upaya membuka kasus pelanggaran HAM semasa perang kemerdekaan Indonesia yang dalam versi Belanda disebut Politionele Actie (Aksi Polisionil) I dan II di Parlemen Belanda tidak dilanjutkan hingga tuntas. Betul ada catatan 76 kasus kejahatan perang yang disebut Excessen Nota yang juga mencatat kasus Rawagede, tetapi tak pernah diselesaikan hingga kini,” jelas Max van der Werff, relawan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) asal Nijmegen, Belanda, yang menyusuri sejumlah lokasi di Jawa Timur untuk melacak pelanggaran HAM oleh militer Belanda pada masa lalu.

Menurut dia, tindakan brutal tentara Belanda adalah pelanggaran HAM serius. Belanda sudah menandatangani Konvensi Jenewa ketika itu.

Yairi (92), veteran Laskar Hisbullah di Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang bergerilya di Desa Sutojayan dekat Pos Belanda di Desa Pakis Aji, memaparkan beragam siksaan yang diterimanya saat ditangkap marinir Belanda. ”Kami dipukul dengan balok, diikat terbalik, dipaksa minum air, lalu perut diinjak, dan sebagainya,” katanya.

Pengakuan serupa disampaikan Yasman bin Sukarmi (94), veteran pejuang, warga Desa Wonokerso, Malang. ”Saya dililit kawat dan didudukkan di kursi. Kawat tembaga terhubung dengan kumparan yang diputar untuk menghasilkan listrik. Saya kejang-kejang kalau tentara Belanda memutar kumparan itu. Mereka yang menonton tertawa melihat tubuh saya yang bergerak tak terkendali,” katanya. Max yang meriset arsip militer di Belanda mendapati keterangan pengakuan prajurit Belanda yang tertawa-tawa melihat siksaan listrik itu.

Marjolein van Paige asal Breda, Belanda, yang meriset foto, membandingkan veteran Belanda dan veteran Indonesia. Paige yang memiliki kakek seorang marinir Belanda dalam perang kemerdekaan di Jatim mendapatkan kabar adanya penembak- an membabi buta terhadap massa bersenjatakan bambu runcing yang mengepung tentara Belanda di sebuah desa di Nganjuk.

Catatan pelanggaran HAM dalam perang kemerdekaan itu sedang dituntaskan Jeffry Pondaag, Ketua KUKB Belanda, yang sedang mengumpulkan data lebih lanjut soal kejahatan perang tahun 1945-1949.

Isu tank Leopard

Belanda berusaha memperbaiki catatan HAM-nya. Di tahun 2011-2012 muncul perdebatan di Parlemen Belanda tentang rencana penjualan tank tempur utama (main battle tank/MBT) Leopard. Belanda yang dilanda krisis keuangan bermaksud mengurangi beban dengan menghapus satu Divisi Kavaleri Tank Leopard yang menjadi andalan di medan tempur kontinental, seperti di daratan Eropa.

Koran utama Belanda, NRC Handelsblad, dalam tajuknya, 6 Februari lalu, mengulas, ”Belanda mengobral 119 tank Leopard dan Indonesia tertarik. Ada harapan untuk meraih kontrak dagang besar-besaran bagi Belanda”. Media itu mengakui adanya persoalan teknis operasional dan kendala politik dalam transaksi Leopard.

Secara teknis dipertanyakan, apakah Leopard bermanfaat di negara kepulauan dengan rawa yang sulit dilintasi tank ringan sekalipun. Isu lebih besar adalah kenapa Belanda menjual senjata ke negara dengan catatan penegakan HAM yang buruk.

Anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanudin, menjelaskan, anggota Parlemen Belanda, Mariko Peters dari Partai Groenlink, dalam pertemuan di Jakarta, pekan lalu, menegaskan, Parlemen Belanda secara resmi menolak penjualan tank itu ke Indonesia. ”Kalau Pemerintah Belanda tetap memaksa menjualnya, akan ada mosi dari parlemen yang bisa membuat pemerintah jatuh. Kubu oposisi di Belanda menilai keberadaan satuan tank Leopard adalah pemborosan keuangan yang tidak sesuai dengan strategi perang modern,” kata Hasanudin mengutip keterangan Mariko.

Persoalan lain juga muncul karena adanya sanksi embargo dalam Uni Eropa (EU Code of Conduct on Arms Exports) terhadap penjualan senjata dan suku cadangnya jika dianggap digunakan oleh negara pembeli sebagai alat untuk represi serta terjadi pelanggaran HAM. Patut diwaspadai sikap Belanda yang bisa saja terlebih dahulu memilih menjual tank Leopard dan mendapatkan keuntungan finansial, lalu menjatuhkan embargo terkait isu HAM, seperti terjadi dalam kasus penggunaan tank ringan Scorpion oleh Inggris dalam darurat militer di Aceh tahun 2003.

Alternatif lain, kalaupun Indonesia terpaksa memilih tank itu, adalah mencari pemasok lain. Direktur Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim mengatakan, pemerintah setelah timbul polemik akhirnya mengakui adanya tawaran dari Rusia untuk membeli tank tempur utama T-90.

”Rusia menawarkan transfer teknologi secara penuh yang tak ditawarkan pihak Eropa barat, termasuk Belanda. Meskipun demikian, sekali lagi, tank besar tidak tepat digunakan di Indonesia,” katanya.

Mufti meminta pemerintah, khususnya TNI Angkatan Darat, untuk memilih yang lebih rasional dan menguntungkan negeri ini.

(Iwan Santosa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com