Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dewi Ivo, Terus Mencari Tantangan

Kompas.com - 02/07/2012, 09:38 WIB

KOMPAS.com - Sosok mungil Dewi Ivo (35) berbalut gaun biru. Kaki-kakinya yang putih jenjang bersepatu Christian Louboutin. Ia kerap jadi sasaran jepretan kamera fotografer di tengah pesta-pesta.

”Jangan dikira hidup saya cuma party-party saja. Bikin pesta itu bagian dari kerjaan saya dulu...,” kata Dewi, putri penyanyi Ivo Nilakreshna itu.

Kalaupun kini ia tetap hadir di pesta-pesta kelas atas, bagi Dewi, itu bukan hanya urusan tampil keren. Saat itu ia sedang membangun jaringan bisnis.

Dunia pesta, bisnis pertunjukan musik, hingga pergelaran busana dikenal Dewi ketika ia menjadi manajer humas di Bengkel Night Park, sebuah kafe di Jakarta yang berfasilitas pusat konvensi. Bengkel Night Park menjadi arena gaul ramai kaum urban Jakarta pada akhir 1990-an. Ketika itu, ia baru berusia 21 tahun, baru menamatkan diploma kehumasan di London School of PR Jakarta. Ia dihadapkan pada tantangan besar. ”Target saya mesti bisa mendatangkan 8.000 pengunjung pada satu kegiatan akhir pekan,” kata Dewi, yang kini adalah ibu seorang putra berusia 6 tahun.

Tuntutan ini mendorong Dewi membangun jaringan dengan pebisnis hiburan dan industri kreatif. Target Bengkel terlampaui. Darah muda Dewi mendorongnya mencari tantangan baru. Dia pun meninggalkan Bengkel untuk merancang konsep pemasaran mini-mal Stage Lamandau sebagai direktur.

Keterbatasan ruang dalam butik belanja yang hanya memuat 10-15 gerai menuntut Dewi sangat selektif memilih tenant. Sebaliknya, menggaet tenant yang sudah punya nama besar untuk membuka outlet mereka di mini-mal bukan hal mudah. Selain menjual ruang, Dewi juga harus merancang program marketing dengan target pasar sangat spesifik.

”Kalau mal besar, kan, memungkinkan siapa saja bisa datang. Mini-mal harus tahu persis siapa orang-orang yang dituju untuk ditarik sebagai konsumen,” ujarnya.

Sukses di Stage, Dewi pun merancang konsep Saberro House Kemang yang juga merupakan butik belanja. ”Membujuk Obin untuk mau buka Bin House di Saberro itu perjuangan banget, tetapi saya dapat banyak pelajaran hidup lho dari dia,” ujar Dewi tentang perancang batik kenamaan Obin Komara.

Setelah beberapa tahun berkecimpung di mal mini, Dewi mulai berpikir untuk membangun bisnisnya sendiri pada tahun 2005. Ia tergoda pada sepatu Vincci yang ketika itu jadi incaran warga Indonesia setiap kali berkunjung ke Malaysia atau Singapura.

Sepatu-properti
Ia pun kemudian menggandeng mitra investor, membangun PT Vinccindo Asia Sepatu (VNC) yang membawa merek sepatu Vincci ke pasar ritel Indonesia. Pada 2006-2008, lima gerai sepatu ini bisa ditemukan di mal-mal besar Jakarta, Surabaya, dan Bandung dengan total penjualan mencapai 15.000 sepatu per bulan.

Sebagai presiden direktur sekaligus pemilik saham VNC, Dewi dituntut memahami persoalan bisnis ritel, termasuk isu perpajakannya. Justru setelah VNC berkembang baik, Dewi memutuskan melepas perusahaan itu. Kali ini, ia memilih menekuni bisnis properti yang sudah lama menarik perhatiannya.

Ia berkenalan dengan sektor properti dengan membangun sendiri tiga rumah yang gambarnya sudah ia tawarkan kepada calon pembeli. Tahap berikutnya, bertambah delapan rumah di Kemang yang ia bangun. Dewi pun menyewa rumah-rumah dalam jangka lima dan 10 tahun di kawasan elite seperti Kebayoran Baru untuk ia renovasi dan ia sewakan lagi.

Soal aturan dan perizinan bangunan sampai ribetnya berurusan dengan tukang bangunan jadi ilmu baru buat Dewi. Dari semula bekerja sendiri, pada 2009, Dewi membangun perusahaan properti yang meliputi tim konsultan, pengembang, dan pemasaran. Proyek yang dipasarkan pun tidak hanya yang dibangun perusahaannya sendiri, tetapi juga mitra pengembang.

Meski begitu, sebagai mitra pemasaran, Dewi mengharuskan dirinya untuk memahami benar produk yang ia jual. ”Kalau klien saya punya keluhan, saya harus bisa mendudukkannya dengan pemegang keputusan di perusahaan pengembang. Itu karena yang saya jual adalah kepercayaan dan saya melakukannya secara personal pada setiap klien,” ujar Dewi yang sedang membangun kawasan vila hunian di Bali.

Memberontak
Kegemaran Dewi bekerja sudah tampak sejak remaja. Saat itu, bekerja lebih dikarenakan konsekuensi dari sifat keras kepala dan pemberontakan pada orangtua. Putri ke-10 dari 11 anak artis kenamaan Ivo Nilakreshna ini bersekolah di Singapura dari SD hingga tamat SMA. Ia tinggal bersama sang ayah, mendiang Supli Ambri di sana.

”Kelas dua SMA saya kabur tiga bulan dari rumah karena kesal sama ayah. Waktu itu saya bertekad harus bisa cari duit sendiri. Jadi saya kerja jaga loket tiket feri, tiga jam setiap hari sampai tamat SMA.”

Lepas SMA, Dewi menolak tawaran kuliah ke Swiss dari sang ayah karena tergila-gila main jet ski di Jakarta. Konsekuensinya, Dewi pun harus membiayai hidupnya sendiri. Mulailah ia bekerja sebagai pegawai humas di kafe, merangkap agen penjual asuransi, sekaligus kuliah diploma.

Ternyata, itulah jalannya menuju karier profesional. Bekal lainnya adalah doa dan nasihat orangtua. Dewi memandang sosok ibunya, Ivo Nilakreshna, penyanyi populer era awal 1960-an, sebagai orang yang ia kagumi.

”Lepas dari kisah cintanya yang up and down, ibu saya itu orang yang tidak pernah mendendam. Dia bukan hanya artis, tetapi juga pengusaha yang menghidupi begitu banyak anaknya. Kata dia, jadi perempuan pengusaha itu enggak gampang, harus bisa menyimpan emosi di saku.”

Tidak tertarik berkarier di dunia tarik suara seperti Ivo Nilakreshna? ”Maunya sih bisa nyanyi, tetapi enggak deh, pas-pasan nih....”

Apa yang dicari sang Dewi?

”Aku ingin menjadi ibu yang lebih baik bagi anakku, dan lebih bermanfaat bagi orang lain.”

Dalam pelukan Ivo Nilakreshna
Membawa nama Ivo, bagi Dewi, adalah cerminan kebanggaannya pada sang ibu. Selain dikenal sebagai penyanyi di dalam dan luar negeri pada era 1960-an, Ivo juga seorang pengusaha. ”Ibu saya, tuh, mulai dari jualan sepatu saat umur 14 tahun, sampai bisa membangun perusahaan rekaman,” ujar Dewi.

Hingga kini, pada usia 73 tahun, Ivo yang memiliki 11 anak—sembilan di antaranya perempuan—ini masih mengurus bisnis. Hampir setiap akhir pekan, keluarga besar ini berkunjung ke rumah sang Ibu. Bagaimana rasanya kalau berkumpul di hari besar seperti Lebaran? ”Waah, pusing deh saking ramainya,” kata Dewi.

Tak heran, dia butuh beberapa saat untuk mengingat jumlah keponakannya yang lebih dari 20 orang.

Sifat pemaaf, tidak pernah mendendam, dan mengutamakan silaturahim adalah teladan lain dari sang Ibu, juga keteguhannya menjalani hidup. Menjadi ibu dari 11 anak tentu bukan hal mudah.

”Sebagai perempuan, kita harus punya prinsip. Lihat ke depan, tahu apa yang jadi tujuan kita. Di kiri kanan orang mau ngomong apa terserah deh,” ujar Dewi menirukan nasihat ibunya.

Dari sang ayah, almarhum Supli Ambri, Dewi belajar tentang komitmen melakoni pekerjaan. ”Ayah selalu mengatakan, bekerja itu mesti jujur, jangan makan hak orang lain.”

Meskipun kedua orangtuanya berpisah, Dewi menyaksikan mereka menjadi dua orang yang bersahabat.

Kini, sebagai orangtua tunggal dari Anindra (6) putra tunggalnya, Dewi mengakui situasi itu memang tak mudah. Bersama sang buah hati Dewi berusaha menjadi tim yang kompak. Mereka saling menguatkan satu sama lain.

”Kalau saya kelihatan murung, anak saya suka bilang ’Ibu, something is not right with your eyes. Just pray, be tough, and smile’….”

(Nur Hidayati/Yulia Sapthiani)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com