Menurut manajemen Indosat, Indosat sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi menyewakan jaringan IMT-2000 pada pita frekuensi 2,1 GHz kepada IM2 sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi. Hal itu sesuai dengan Pasal 9 (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Indosat juga menegaskan tidak terjadi pengalihan frekuensi 2,1 GHz dari Indosat kepada IM2. Indosat juga menyangkal terjadi kerugian negara akibat kerja sama tersebut. Indosat mengklaim telah membayar penerimaan negara bukan pajak dari pemanfaatan frekuensi 2,1 GHz senilai total Rp 1,89 triliun.
Penasihat hukum Indosat, Luhut MP Pangaribuan, mengatakan, dalam kasus ini yang seharusnya bertanggung jawab adalah Indosat dan IM2 karena ini merupakan kerja sama antarperusahaan.
”Jadi, secara normatif langkah Kejaksaan Agung sudah benar. Yang tidak benar adalah menetapkan orang sebagai tersangka. Jadi, saya melihat ini sebagai koreksi dari Kejaksaan Agung. Selain itu, tidak betul ada penggunaan frekuensi secara bersama,” kata Luhut.
Kendati demikian, menurut Luhut, harus hati-hati membawa kasus ini ke pengadilan karena sesungguhnya tidak ada korupsinya. ”Kalau belum membayar suatu kewajiban, itu bukan korupsi. Hal itu bisa ditagihkan. Jadi, ini bukan tindak pidana, paling hanya administrasi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Masyarakat Telekomunikasi Eddy Thoyib mengatakan, industri telekomunikasi mengkhawatirkan ratusan penyelenggara jasa internet atau internet service provider (ISP) akan terkena dampak kasus ini.
”Seyogianya Kementerian Komunikasi dan Informatika yang sejak awal menyatakan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 sudah sesuai regulasi kembali mengklarifikasi kepada BPKP dan Kejaksaan Agung,” kata Eddy.
Menurut Eddy, dengan dinyatakan ada kerugian negara dalam kasus IM2, akan berdampak pula pada lebih dari 200 ISP lain dengan model bisnis yang sama seperti Indosat dan IM2.