Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sori... Rusun Subsidi Salah Sasaran atau Salah Urus? (I)

Kompas.com - 01/04/2013, 15:14 WIB

KOMPAS.com - Memasuki tahun ke-6 tahun sejak program "1000 Menara Rusun" dicanangkan, pemerintah masih menyisakan beberapa permasalahan tidak juga segera diselesaikan. Program pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini termasuk dalam kebijakan kementerian perumahan rakyat yang gagal.

Demikian diungkapkan pengamat dan pemerhati properti dari Indonesia Properti Watch (IPW) Ali Tranghanda di Jakarta, Senin (1/4/2013). Ali mengatakan, sangat disayangkan bahwa sampai saat ini program rusun tersebut seperti dibiarkan berjalan tanpa nahkoda dan arah yang jelas.

"Banyaknya kalangan yang menilai program rusunami ini telah salah sasaran, bisa dibilang iya, bisa juga dibilang tidak. Karena permasalahan utamanya bukan terletak pada siapa penghuni rusun-rusun tersebut setelah dibangun, melainkan salahnya kebijakan yang ada sehingga aturan main menjadi tidak jelas," kata Ali.

IPW menilai, program 1000 Menara Rusun tersebut digelontorkan tanpa perencanaan matang dan kajian mendalam terhadap dampaknya ke depan. Ia mengingatkan perlunya masyarakat melihat kembali, mengapa program rusunami ini begitu diminati oleh pengembang pada kisaran tahun 2007, sementara memasuki tahun 2009 hampir dipastikan tidak ada lagi pengembang baru berminat membangun rusunami.

IPW mencatat, jika merunut kilas balik yang terjadi ketika program ini dicanangkan adalah potensi peningkatan koefisien lantai bangunan (KLB) yang bisa mencapai 6 bila pengembang mau membangun rusunami subsidi. Sebagai gambaran, lanjut Ali, bila sebuah lahan 10.000 m2 dengan KLB 3 misalkan, maka luas bangunan yang bisa dibangun adalah 3 x 10.0000 m2 = 30.000 m2.

"Dengan diajukannya pengembangan sebagai rusunami subsidi, maka dimungkinkan peningkatan KLB menjadi 6 atau menjadi 60.000 m2 untuk luas yang bisa dibangun. Artinya, pengembang akan mendapatkan bonus luas keuntungan seluas 30.000 m2," kata Ali.

Menurut dia, hal ini akan wajar, mengingat motif pengembang sebagai pengusaha. Hanya saja, syaratnya, ada kebijakan yang mendukung.

"Ketika banyaknya proyek rusunami subsidi yang diajukan pengembang ternyata tidak ada kebijakan yang membatasi banyaknya rusunami subsidi yang harus dibangun. Artinya, pengembang tidak diharuskan membangun rusunami dalam prosentase tertentu dalam satu tower," kata Ali.

Sebaliknya, lanjut Ali, yang terjadi adalah, pengembang akan menjadikan rusunami subsidi hanya sebagai "pelengkap" untuk bisa membangun rusunami yang nantinya akan dijual sebagai rusun non- subsidi dengan harga lebih tinggi dari ketentuan dengan alasan melakukan subsidi silang agar pengembang tidak merugi.

Buruknya koordinasi

Berdasarkan pengamatan IPW, pasca penyegelan proyek Kalibata City oleh Pemda DKI Jakarta yang membangun rusunami subsidi dengan alasan, bahwa KLB tidak boleh lebih dari 3,5, kini mulai banyak pengembang tidak tertarik membangun rusunami subsidi. Alasannya, "bonus keuntungan luas" tidak lagi menarik pengembang.

Ali menilai, hal tersebut menggambarkan buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga kebijakan KLB 6 yang ditetapkan pusat ternyata dengan mudah dipatahkan oleh pemerintah daerah sebagai "penguasa" setempat.

Berdasarkan data yang tercatat di IPW, sampai 2010 lalu ternyata hanya beberapa pengembang besar saja yang mau berkontribusi untuk membangun rusunami subsidi, antara lain Agung Podomoro Group dan Bakrieland-Perumnas. Itu di luar pengembang-pengembang kecil yang ikut berlomba mengembangkan rusunami subsidi, meskipun belum bisa dibilang rusunami subsidi sepenuhnya.

Sumber: Indonesia Property Watch

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com