Kejahatan ini dilakukan lintas negara. Maka penerapan yurisdiksi ekstra teritorial semakin penting tidak hanya tertulis di UU, tetapi secara nyata harus diimplementasikan.
Di AS, Biro Investigasi Federal (FBI) dalam rilis terbarunya telah melaporkan lonjakan kerugian finansial yang signifikan akibat kejahatan dunia maya, dengan peningkatan yang mengejutkan sebesar 12,5 miliar dollar AS dibanding tahun-tahun sebelumnya (Yeo & Yeo :FBI Reports $12.5 Billion Increase in Losses from Cybercrime Amid Ongoing Phishing Attacks, 8/4/2024).
Peningkatan yang mengkhawatirkan ini disebabkan serangan phishing yang terus berlanjut, mengeksploitasi kerentanan dalam pertahanan keamanan organisasi siber.
Menurut laporan ini penjahat dunia maya memanfaatkan taktik phishing yang kian canggih untuk menyusup ke jaringan, membahayakan data sensitif, dan menipu individu dan bisnis.
FBI memperingatkan bahwa serangan phishing tetap menjadi metode umum yang dimanfaatkan penjahat dunia maya untuk mengeksploitasi korban yang tidak menaruh curiga.
FBI mendesak organisasi untuk memprioritaskan kesadaran keamanan siber dan menerapkan pertahanan yang kuat terhadap serangan phishing.
Langkah meliputi mendidik karyawan, menerapkan langkah-langkah keamanan berlapis, dan tetap waspada terhadap ancaman yang terus berkembang.
Dunia usaha perlu memitigasi risiko korban kejahatan dunia maya dan melindungi aset berharga serta informasi sensitif mereka.
Di sisi lain, sebagai negara pengembang AI paling depan, Pemerintah AS melalui berbagai institusi seperti, NSA, FBI, dan CISA pada 12 September 2023 merilis laporan bertajuk "NSA, FBI, and CISA Release Cybersecurity Information Sheet on Deepfake Threats".
Rilis itu menyatakan bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap media sintetik mencakup operasi disinformasi, dengan memanfaatkan media sintetik untuk modus kejahatan di bidang keuangan, pelanggaran privasi dan pencemaran nama baik.
Laporan Pemerintah AS juga mencatat bentuk penyebaran informasi palsu terkait isu-isu politik, sosial, militer, atau ekonomi yang menyebabkan kebingungan, keresahan, dan ketidakpastian.
Lembaga-lembaga itu mendesak organisasi untuk melakukan langkah-langkah dan praktik terbaik dalam mempersiapkan, mengidentifikasi, mempertahankan diri, dan merespons ancaman deepfake.
Meskipun penipuan telah menjadi masalah di sektor jasa keuangan sejak lama, namun industri ini menghadapi ancaman berbeda, berupa deepfake (Alan Perregini, American Banker: "BankThink In banks' battle against deepfake fraud, we need all hands on deck", 12/3/2024).
Ia menyebut insiden di Hong Kong adalah peringatan keras. Industri harus melengkapi diri dengan alat, teknologi, dan proses, yang didukung oleh regulasi proaktif.
Semua variabel itu penting untuk memastikan bahwa penipuan deepfake tidak membebani lembaga keuangan global atau perekonomian secara keseluruhan.