Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Nyawer saat Live Streaming, Pengamat: Positif, Tapi…

KOMPAS.com - Sejak pandemi covid-19 melanda, fitur live streaming menjadi fitur yang populer digunakan oleh pengguna media sosial.

Sebab, pertemuan fisik selama pandemi dibatasi oleh pemerintah, sehingga solusi komunikasi berbasis teknologi termasuk live streaming menjadi alternatif, khususnya bagi publik figur serta kreator konten.

Selain di media sosial, konten live streaming juga dapat ditemukan di platform streaming seperti Twitch, Facebook Gaming hingga NimoTV.

Tak hanya sekadar hiburan, fitur live streaming bisa menjadi ladang cuan bagi kreator konten atau gamer. Sebab, fitur itu di beberapa platform sudah memungkinkan penonton atau audiens untuk memberikan apresiasi atau "nyawer".

Untuk nyawer digital, penonton harus memiliki "alat sawer" berupa koin/item digital tertentu sesuai ketentuan platform yang digunakan, agar bisa memberikan apresiasi kepada kreator konten selama streaming langsung.

Misalnya di TikTok, pengguna harus memiliki koin untuk membeli "Gift", yaitu item digital dalam bermacam versi sebagai alat sawer. Contoh lainnya di platform streaming game, Twitch, penonton harus membeli "Bits" untuk nyawer ke gamer yang sedang streaming langsung. Lantas apakah praktik ini wajar?

Menurut pengamat media sosial, Hariqo Wibawa Satria, fenomena saweran digital terbilang wajar karena membuat penonton tertentu terinspirasi hingga terhibur. Saweran yang berlangsung juga dinilai cukup transparan karena melalui platform digital sebagai mediator.

Namun jika saweran digital dilakukan secara langsung atau cash, Hariqo menilai praktik itu berpotensi tidak aman.

"Saweran itu kan macam-macam metodenya, ada yang lewat koin. Jadi kalau orang merasa terinspirasi atau termotivasi mendapatkan sesuatu lewat konten itu atau terhibur, dia bisa memberikan sesuatu pada orang yang live streaming (kreator). Selama itu bentuknya tidak uang cash, tapi koin, bagi saya nggak masalah." kata Hariqo kepada KompasTekno.

"Kalau uang (cash) kan kita tidak tau apakah aman atau tidak transaksinya. Kalau ada perantaranya kan kita beli koin dulu. Kaya di Tiktok itu nggak masalah. Tapi kalau transfer ke sini, itu baiknya dihindari," lanjut Hariqo.

Platform lebih diuntungkan

Fitur live streaming menjadi cara baru untuk memonetisasi konten. Sebab, selain bisa lebih dekat dengan para penggemar atau audiens, kreator juga mendapat apresiasi berupa saweran digital.

Adapun pihak yang lebih diuntungkan dari praktik ini menurut Hariqo yaitu platform digital terkait, misalnya TikTok, Twitch, atau YouTube, karena bisa membuat pengguna betah berlama-lama menghabiskan waktu pada aplikasi tersebut.

Hariqo juga memberikan analogi platform digital sebagai sebuah pusat perbelanjaan/mall yang membutuhkan banyak pengunjung.

"Misalnya saya menyewa mall. Kemudian saya bikin event, saya harus datangkan orang sebanyak-banyaknya di mall itu. Mall itu kan ada ruko-rukonya. Teman saya sewa satu tempat atau bikin event yang bagus. Otomatis mall-nya jadi rame. Sebenarnya platform diuntungkan dengan banyaknya live itu," jelas Hariqo.

Untuk itu, pengamat medsos tersebut menilai bahwa apresiasi bagi kreator seharusnya diberikan oleh platform, khususnya pada konten yang berdampak positif. Apresiasi yang dimaksud di sini tak hanya dari sisi materi namun juga edukasi.

"Kalau memang livenya bagus, mestinya platform yang memberikan apresiasi ke kreator," ujarnya.

Meski demikian, Hariqo tidak melarang apresiasi kreator dari penonton. Hanya saja, ia menilai bahwa apresiasi ke kreator utamanya berasal dari platform terkait.

Adapun untuk meminimalisasi konten live yang negatif, Hariqo menyebut platform digital sebaiknya memberikan edukasi sebagai upaya pencegahan, bukan edukasi yang dilakukan pasca-kejadian.

Alih-alih hanya edukasi dalam bentuk program, edukasi yang ditambah dalam bentuk kebijakan, dinilai Hariqo merupakan cara yang lebih baik.

Misalnya dengan membatasi penggunaan fitur live streaming untuk pengguna usia 17 tahun ke atas atau mengkhususkan fitur itu untuk kreator maupun pengguna yang mengajukan fitur tersebut.

"Pencegahan terbaik itu baiknya dengan kebijakan juga, bukan hanya edukasi. Misalnya untuk mengurangi penggunaan live streaming bagi konten berbahaya, anak-anak di usia 17 tahun ke bawah, nggak di kasih fasilitas live streaming. Atau siapa pun yang mau fitur itu, harus mengajukan," jelas Hariqo.

Konten challenge lucu sampai berbahaya

Di antara konten live streaming atau konten di media sosial yang terkadang ditampilkan kreator, yaitu challenge atau tantangan. Dalam konten ini, kreator mengajak atau menantang penonton untuk melakukan hal serupa.

Misalnya menirukan tarian yang sedang tren, memberikan donasi, menirukan gerakan olah raga, mengunggah foto lawas kemudian membandingkannya dengan potret saat ini dan tantangan yang menghibur lainnya.

Sayangnya, sejumlah tantangan terbilang negatif karena berdampak buruk bagi penonton bahkan sampai merenggut nyawa, khususnya tantangan yang dibuat oleh kreator atau pengguna lainnya, bukan terkait kampanye dari platform terkait.

Sebab, challenge dari platform terkait biasanya ditinjau terlebih dahulu oleh perusahaan.

Di antara contoh tantangan negatif di medsos seperti "blackout challenge" yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Tantangan ini mendorong pengguna mencekik diri memakai ikat pinggang, tali tas atau benda sejenis lainnya, dan menahan napas sampai pingsan.

Tantangan ini muncul sejak tahun 2008 dan kembali mencuat di medsos TikTok pada tahun 2021. Sepanjang tahun 2021, Blackout Challenge mengakibatkan sekitar 7 orang meninggal dunia.

Tantangan yang merenggut nyawa, sejauh ini memang tidak terjadi di Indonesia. Meski demikian, menurut Hariqo diperlukan kebijakan dari hulu untuk mencegah tantangan negatif tersebut marak di Indonesia.

Misalnya dengan memberikan kuesioner kepada pengguna ketika hendak membuat akun, salah satu poinnya menjelaskan bahwa "pengguna siap untuk tidak merugikan orang lain ketika melakukan sesuatu yang mendorong orang lain melakukannya".

Selain itu, platform maupun kreator yang mengajak penonton atau pengguna lain melakukan tantangan, sebaiknya menjelaskan ketentuan siapa saja yang bisa mengikuti tantangan tersebut.

"Dijelaskan siapa aja yang bisa ikut challenge ini, siapa aja yang tidak. Karena kalau challenge itu biasa-biasa aja tentu nggak menarik. (Namun, challenge) Yang luar biasa, nggak semua bisa lakuin," tutur Hariqo.

Saweran di medsos bakal bertahan lama

Terlepas dari positif dan negatifnya live streaming di media sosial, pengamat medsos itu meyakini bahwa fenomena saweran live streaming akan bertahan lama.

Sebab, saweran dari konten ini lebih instan ketimbang monetisasi konten yang perlu proses unggah terlebih dahulu seperti video di Youtube atau foto di Shutterstock maupun situs lainnya.

Tak hanya itu, masyarakat di Indonesia juga sudah menyadari dan berpikir tentang cara mencari uang dari medsos.

"Tren lama medsos untuk dapat teman dan sebagainya itu sudah selesai. Karena orang udah mulai berpikir, dapet apa dari internet, dari medsos, seperti tren saat pandemi 'cara dapat uang dari internet/medsos'," kata Hariqo.

"Jadi promosi fasilitas apapun yang dimiliki medsos yang judulnya orang bisa mendapatkan uang, itu pasti trennya akan lama, karena salah satu kata kunci yang dicari orang itu ya 'bagaimana mendapatkan uang dari IG, TikTok, Youtube' dan sebagainya," imbuhnya.

https://tekno.kompas.com/read/2022/07/26/11000067/fenomena-nyawer-saat-live-streaming-pengamat--positif-tapi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke