Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Satria-1 Meramaikan "Hutan“ Satelit Buatan Manusia

Roket yang membawanya sudah melontarkannya dengan kecepatan 40.000 km/jam sejak menit ke-42 setelah roket mengudara, ke posisi geostasioner setinggi sekitar 36.000 km di khatulistiwa di atas Papua.

Berat 4,6 ton dan panjang 6,5 meter, satelit Satria-1 komunkasi internet terbesar di Asia dan nomor lima di dunia.

Kapasitasnya 150.000 GB, menjangkau 150.000 titik Nusantara utamanya di 3T (tertinggal, terluar dan terdepan) semisal Papua, sebagian NTT dan Kalimantan.

Ada beda VHTS Multifungsi Satria-1 dengan satelit konvensional yang jejaknya, foot print-nya, meliput seluruh kawasan cakupan, merambah sampai hutan dan lautan.

Satelit VHTS mengarahkan sinyal radionya ke target-target tertentu di Bumi, yang namanya spot beam.

Namun kebutuhan akses internet saat dibangun pada 2018 hanya 1Mbps/titik kini aktualnya 4 Mbps, akibatnya yang bisa disambung ke Satria-1 hanya 50.000 titik.

Bakti Kominfo akan menyediakan akses VSAT (very small aperture terminal) untuk 30.000 sampai 50.000 titik layanan di 166 spot beam.

Spot beam ini seperti cakupan BTS, tetapi tidak berdempetan bahkan mungkin berjauhan. Bandingkan dengan jumlah BTS milik operator seluler yang masing-masing bisa punya 40.000 BTS sampai 200.000 BTS di seluruh kawasan Tanah Air.

Tidak masalah juga, karena di triwulan 4 nanti akan diluncurkan lagi satu satelit HBS (hot backup) yang kapasitasnya sama, namun lebih murah harganya dibanding Satria-1.

Satelit HBS yang dibangun Boeing dan akan diluncurkan roket SpaceX 9 ini harganya tidak sampai Rp 5 triliun, sementara Satria-1 Rp 8 triliun.

Buatan manusia

Di alam semesta ini sejak awal memang ada satelit, benda angkasa atau planet yang mengitari planet “induk”-nya. Misalnya, Bulan yang mengitari Bumi kita, atau Bumi yang mengitari Matahari.

Dari tata surya kita, Matahari punya 8 planet, enam di antaranya punya satelit, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Planet tanpa satelit Mercurius dan Venus.

Manusia sejak pertengahan abad lalu meluncurkan satelit buatan untuk berbagai kebutuhan, tidak hanya telekomunikasi tetapi juga pemantauan cuaca, pemantau lokasi (GPS – global positioning satellite), pertahanan, intelijen dan sebagainya. Jumlah satelit buatan manusia yang masih beroperasi sekitar 7.700.

Posisi satelit macam-macam, ada yang GEO, geostationer earth orbit di ketinggian 35.876 km dari permukaan bumi, lalu MEO, medium earth orbit yang beroperasi secara sirkuler pada ketinggian 8.000 km hingga 20.000 di atas permukaan bumi dan LEO, low earth orbit, di ketinggian 400 km hingga 2.000 km.

Perbedaan lain dari ketiga jenis satelit itu adalah penempatan dan posisinya. Satelit GEO tetap pada tempatnya, misalnya Satria-1 yang ditempatkan di orbit 146º bujur timur, atau HBS yang di 113º bujur timur, di khatulistiwa di atas Papua.

Satu slot satelit posisi GEO bisa diisi beberapa satelit yang jaraknya berjauhan meskipun lokasi sama, misalnya di 146º atau 113º BT.

Nano buatan Indonesia

Satelit GEO bisa menetap di tempatnya karena berada persis pada titik nol di puncak gravitasi bumi dan gaya sentrifugal – tarikan keluar – dari tata surya, berkecepatan 11.000 km/jam.

Satelit semacam ini memiliki roket-roket kecil yang bisa dihidupkan untuk mengoreksi posisi jika satelit melenceng akibat kedua gaya tarik tadi.

“Kebinalan” satelit di posisinya berefek pada usia operasinya, sebab sering dikoreksi yang mengurangi bahan bakar roket yang dibawanya.

Usia satelit GEO umumnya antara 15 tahun sampai 20 tahun, setelah habis dilemparkan ke kuburan satelit sekitar 500 km lebih jauh, walau secara teknis bisa saja satelit “dihabisi” karena munculnya teknologi baru.

Tidak mustahil, satelit yang beroperasi itu akan makin turun akibat gravitasi bumi yang saat memasuki atmosfer ia akan terbakar. Bisa hangus, bisa juga meninggalkan sisa kecil-kecil (debris) ketika jatuh bumi.

Satelit LEO dan MEO bergerak memutari bumi, misalnya Starlink milik Elon Musk di LEO yang sekarang baru 3.000 dan segera menjadi 12.000 buah.

Usia rata-rata satelit LEO yang mengelilingi bumi setiap 1 – 1,5 jam dengan kecepatan 27.000/ jam hanya sekitar lima tahun, gravitasi bumi membutuhkan banyak bahan bakar untuk satelit bertahan di orbit.

Sementara MEO rutenya ada yang antar-kutub dengan kecepatan sampai 12.000 km/jam, mengelilingi bumi sehari sebanyak 16X. Satelit GPS, Telstar dan Beidow termasuk satelit MEO.

Di LEO ada satelit mikro dan nano, dan Indonesia sudah berhasil membuat satelit nano yang namanya SS1 (Surya Satelit 1) yang dibuat bersama Universitas Surya, BRIN, Kominfo, dan Orari.

Roket SpaceX 9 CRS2 meluncurkan SS1 dari Kennedy Space Center dengan bantuan Japan Aerospace Exploration Agency (Jaxa).

SS1 merupakan satelit mungil yang ukurannya hanya 10X10X11,3 sentimeter, berat 1,3 kilogram biaya pembuatannya Rp 3 miliar.

Satelit mitigasi bencana yang dapat dikembangkan fungsinya sebagai pemantau jarak jauh, sensor gempa dan tsunami, ini usianya hanya 2 tahun berkecepatan SS1 400 km di orbit yang bersudut inklinasi 51,7º.

https://tekno.kompas.com/read/2023/06/27/16482947/satria-1-meramaikan-hutan-satelit-buatan-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke