Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merger Seluler: Efisiensi, Gengsi, dan Harga Diri

Merger menjadi keniscayaan untuk negara yang memiliki enam operator seluler. Merger akan membuat industri sehat, efisiensi yang signifikan, dan mengurangi persaingan.

Sampurna Telecom merupakan satu operator CDMA yang belum lama ini terpaksa mati alamiah.

Sebelum merger IOH, ada aksi korporasi, namun bukan merger melainkan akuisisi Axis ex-milik Saudi Telecom oleh XL Axiata senilai Rp 9,5 triliun pada 2014.

Efek akuisisi itu dirasa sangat berat oleh XL Axiata. Masalah keuangan yang membelit membuat operator itu berdarah-darah dan baru tuntas setelah lebih dari empat tahun kemudian.

Merger Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia (3) yang bernilai 6 miliar dollar AS (sekitar Rp 90 triliun) berjalan mulus. Bahkan mencengangkan dunia karena sebelumnya banyak operator pernah mencoba merger dan gatot (gagal total).

Pada akhir tahun pertama IOH merger, tampilan neraca keuangan, jumlah pelanggan, dan sebaran BTS (base transceiver station) perusahaan meningkat.

Pendapatan 2022 sebesar Rp 46,8 triliun – naik dari target Rp 41 triliun. Padahal revenue 2021 sebesar Rp 31,4 triliun – dengan laba Rp 2,66 triiliun.

Pada semester 1 2023, pendapatan IOH mencapai Rp 24,7 triliun dan laba Rp 1,9 triliun. Saat ini IOH memiliki 100 juta pelanggan, jumlah BTS 215.000 unit, 167.000 unit di antaranya BTS 4G.

Kini Indonesia memilik empat operator, Telkomsel, IOH, XL Axiata, dan Smartfren. Bisnis mulai berjalan baik, tetapi empat operator untuk 278,7 juta jiwa dirasa masih terlalu banyak.

Setidaknya jumlah operator maksimal tiga, untung-untung hanya dua dengan tingkat kompetisi yang tidak brutal, dan pelanggan tetap memiliki pilihan.

Sasaran merger sebenarnya efisiensi, mengurangi duplikasi akibat dua atau lebih biaya dan kegiatan yang sama menjadi satu. Misalnya, dalam pengadaan BTS, kantor, tenaga (SDM), dan pemasaran yang dapat berefek ke perluasan cakupan atau jangkauan.

Namun masih banyak yang harus dipertimbangkan ketika dua operator yang “beda kelas” itu jadi merger.

Anak bawang

Merger keduanya membuat mereka akan memiliki jangkauan layanan yang lebih luas dengan memanfaatkan seluruh BTS yang dimiliki. Sebanyak 150.216 unit BTS milik XL Axiata, 97.125 di antaranya BTS 4G dan 43.000 unit milik Smartfren, semua BTS 4G.

Jangkauan semula layanan Smartfren di 288 kota akan menjadi lebih luas, bahkan lebih dari 480 kota seperti yang saat ini dijangkau XL Axiata.

Padahal hanya sekadar merelokasi BTS keduanya yang berdekatan ke kawasan yang masih kosong sinyal seluler XL atau Smartfren.

Pada setiap perjanjian merger, akan dihitung berapa besar saham masing-masing di perusahaan yang baru.

Pendapatan XL Axiata semester 1/2023 mencapai Rp 15,76 triliun. Sementara Smartfren Rp 2,78 triliun. Apakah berarti XL akan menguasai mayoritas saham?

Pemilik XL Axiata adalah kelompok Axiata Sdn Berhad Malaysia, sementara Smartfren punya kelompok Sinar Mas yang konon hartanya belum ada ujungnya. Mudah saja bagi Sinar Mas jika ingin jadi pemegang saham mayoritas, tambah saja modal.

Merger keduanya, jika terlaksana, akan membuka kemungkinan mereka jadi operator kedua terbesar mengalahkan IOH, setelah Telkomsel. Sebab pada intinya, percuma merger kalau hanya tetap saja menjadi “anak bawang”.

Menyaingi Telkomsel kenapa tidak, walau berat upayanya. Pelanggan Telkomsel sudah 166 juta dan laba tahun 2021 Rp 26 triliun, tahun 2022 Rp 18,37 triliun.

Frekuensi masih diambil

Yang harus diantisipasi berikutnya adalah soal kemungkinan pemerintah mengambil sebagian spektrum operator yang merger.

Saat ini spektrum yang dimiliki XL Axiata mencapai 45 MHz (kali dua – unduh dan unggah) di spektrum 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz. Smartfren punya 11 MHz di rentang 800 Mhz, dan 40 MHz di 2300 MHz, total 56 MHz plus 40 MHz.

Sementara IOH punya spektrum selebar 135 MHz di 900 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHZ.

Telkomsel punya 145 MHz di 850 MHz, 900 MHz, 2100 MHz dan 50 MHz di spektrum 2300 MHz.

Jika pengambilan spektrum dimaksudkan untuk pemerataan karena, misalnya, Telkomsel masa lalu memiliki pelanggan jauh lebih besar, namun spektrum lebih sempit.

Kalau merger XL dan Smartfren jadi, jumlah lebar spektrum mereka masih di bawah IOH, apalagi Telkomsel, kebijakan tadi mestinya tidak lagi diterapkan.

Ada hal lain dalam proses merger keduanya, akan berkembang soal gengsi, harga diri, kehormatan. Pelanggan baru yang akan diraih pun nyaris tidak ada, tak seorang pun yang mau diberi gratis kartu SIM tanpa pulsa.

Indonesia dengan penduduk 278,7 juta jiwa, ada 346,7 juta kartu SIM aktif. Sehingga, kalaupun terjadi peningkatan jumlah pelanggan di satu operator, akan terjadi pengurangan pelanggan di operator lainnya.

Namanya zero sum game.

https://tekno.kompas.com/read/2023/09/18/12350107/merger-seluler-efisiensi-gengsi-dan-harga-diri

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke