Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Rapanie Igama

Menelusuri Jejak Samar Naskah Ulu

Kompas.com - 23/03/2011, 05:45 WIB

IRENE SARWINDANINGRUM

Menggali kembali naskah Ulu ibarat menelusuri jejak yang samar. Serat kuno peninggalan masyarakat bagian ulu Sungai Musi itu tercecer dalam masyarakat dan di luar negeri. Sering kali naskah beraksara Kaganga ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal hingga sulit diketahui isinya. Ketiadaan dana dan hilangnya generasi yang mampu membacanya ikut mempersulit upaya pemerhati serat Ulu dan aksara Kaganga Sumatera Selatan, Ahmad Rapanie Igama, untuk mendalaminya.

Rapanie, sapaannya, adalah salah satu dari sedikit orang di Indonesia yang peduli pada aksara Kaganga atau aksara asli Sumatera bagian hulu Sungai Musi. Naskah Ulu ditulis dalam aksara Kaganga. Ia menjadi rujukan orang untuk mempelajari dan menelusuri aksara dan naskah yang nyaris punah itu.

Sejak 15 tahun lalu, lelaki yang telah menghasilkan beberapa karya sastra ini giat mempelajari aksara Kaganga dan naskah Ulu, meski tak ada imbalan untuk itu. Beberapa kali dia turut mengawal ekspedisi penelitian naskah Ulu yang diselenggarakan Balai Arkeologi Palembang ke sejumlah daerah di Sumatera Selatan.

Berbagai kesulitan ditemui dalam upaya penelusuran tersebut, mulai dari minimnya dana, kurangnya perhatian pemerintah, terputusnya generasi yang mampu membaca aksara Kaganga dan naskah Ulu, hingga keyakinan masyarakat yang membuat naskah Ulu tak dapat disentuh peneliti.

Berbagai kesulitan itu tak menghentikan niat Rapanie. Baginya, pencarian ini merupakan upaya ”menengok” masa lalu guna membangun fondasi masa depan.

”Serat Ulu menyimpan kearifan lokal dan budaya Sumsel. Di sini tersimpan jati diri kita sebagai bangsa yang mulai kabur. Bangsa kita seperti bergerak tanpa akar identitas yang jelas. Akibatnya, kita sering gamang dan mudah terpengaruh budaya asing,” katanya saat ditemui di kantornya, Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya, Palembang.

Minatnya terhadap huruf dan naskah masyarakat asli Sumatera itu bermula tahun 1996. Ketika itu ia ditempatkan sebagai pamong budaya bidang filologi Museum Negeri Sumsel. Lulusan Sastra Indonesia ini masih asing terhadap aksara Kaganga dan serat Ulu.

Meski lahir di Sumsel, ia tak pernah diajari membaca aksara dan naskah asli masyarakatnya sendiri. Hal yang umum terjadi di Sumsel. Rasa ingin tahunya tergelitik melihat beberapa koleksi serat Ulu di Museum Negeri Sumsel. Namun, tak satu pun orang yang dia temui di Sumsel dapat membacanya.

”Ada satu orang yang mengaku bisa membaca aksara Kaganga. Tetapi, saat dia membaca serat Ulu, hasil pembacaannya berubah dari waktu ke waktu. Kata-katanya seolah tanpa makna. Dia bilang, serat itu buku mantra yang tak dimaksudkan bermakna. Saya sulit percaya karena setiap teks kuno pasti dibuat dengan makna tertentu dan biasanya merupakan ilmu yang dinilai layak ditularkan. Saya jadi bertekad mempelajari sendiri,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com