Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KEUANGAN RAKYAT

Dari Netbook sampai Gamelan

Kompas.com - 21/08/2011, 03:48 WIB

 Aryo Wisanggeni dan Mawar Kusuma

Selain emas, dulu orang menggadaikan piring, kain batik, dan lampu petromaks. Kini, laptop dan perangkat ”home theater” pun digadaikan. Bahkan, para dalang di Yogyakarta masih suka menggadaikan gamelan.

Fabianca (20), mahasiswa sebuah perguruan tinggi, menatap penuh harap ketika netbooknya diperiksa sang juru taksir kantor Pegadaian Cabang Depok, Jawa Barat. Fabianca sedang butuh uang untuk membayar kuliahnya. Juru taksir bernama Budi Sri Yasono memeriksa berbagai peranti lunak terpasang, juga data spesifikasi komputer jinjing itu.

Setelah Budi memutar keras musik mp3 di netbook Fabianca yang terdengar jernih, ia mengangguk puas. ”Bisa Mbak, tetapi nilainya hanya Rp 400.000,” ujar Supervisor Pegadaian Cabang Depok, Jawa Barat, itu. Itu jauh dari harapan Fabianca, netbook yang dibeli Rp 2,6 juta hanya dihargai gadai Rp 400.000.

”Tidak bisa ditambah Pak? Netbook itu masih garansi. Dan pasti saya ambil lagi karena banyak data yang dibutuhkan untuk kuliah saya,” rayu Fabianca.

Budi menggelengkan kepala. Fabianca juga menggelengkan kepala. ”Kalau tidak bisa ditambah, tidak jadi saja Pak,” katanya penuh rasa sesal.

Uang Rp 400.000 tidak akan menutup biaya kuliahnya, jadi percuma ia menggadai netbooknya. ”Saya akan menggadaikan kepada teman saja. Sebenarnya saya merasa lebih aman menggadai ke Pegadaian karena netbook tersimpan tanpa dipakai. Tapi mau apa lagi, nilai taksirannya terlalu kecil,” katanya.

Manajer Operasi Pegadaian Cabang Depok Tuty Mucharomah menawarkan solusi. ”Perhiasan saja Mbak, pasti nilai taksirannya tidak timpang dibandingkan nilai pembelian,” usul Tuty.

”Komputer itu berkembang terlalu cepat, dalam enam bulan muncul teknologi yang lebih baru. Sementara masa gadai saja sudah empat bulan,” ujar Tuty.

Dari masa ke masa, Pegadaian jadi solusi kala keuangan melilit. Bagi banyak orang, Pegadaian tetap menjadi penyelamat pada masa sulit. Menggadai barang lebih melegakan daripada menjual sebuah benda, apalagi jika benda itu punya kenangan.

Bagi Ida (58) dan jutaan orang lainnya, lebih menguntungkan ke Pegadaian ketimbang menjual barang atau berutang ke bank.

”Tahun lalu saya butuh uang, tapi tidak rela menjual perhiasan yang susah payah saya kumpulkan ketika menjadi sekretaris sebuah perusahaan. Saya menggadaikan emas itu dan masih mencicil. Itu lebih baik daripada menjual, suatu saat emas itu jadi milik saya lagi,” kata Ida yakin.

Masalahnya, tidak semua orang punya emas untuk digadaikan. Jadilah Pegadaian menerima gadai aneka barang, dari komputer jinjing sampai mobil. Pokoknya, barang bergerak.

”Semasa muda saya bertugas di Ambarawa, Pegadaian menerima dandang, piring, mangkok, sendok, petromaks, blender, rantang, segala alat rumah tangga kami terima,” kata Budi tertawa. ”Namun, seiring perkembangan zaman, barang itu tidak bisa diterima lagi, digantikan barang elektronik yang kian beragam,” tambahnya.

Jenis barang yang bisa digadai dipengaruhi kondisi lokal wilayah kerja Pegadaian. Tuty yang menjadi juru taksir sejak 1994 menuturkan, pada awal masa kerjanya di Ciamis, ia kerap menaksir sepeda tua, bahkan sepeda bermesin kumbang. Kain batik juga menjadi salah satu barang gadai yang populer di masanya.

”Di Ciamis juga banyak yang menggadai kain batik. Juru gadai seperti saya dahulu diajari batik yang populer di tiap daerah, berbeda-beda. Karena sekarang kian jarang orang berkain batik, semakin jarang Pegadaian yang menerima gadai kain batik,” kata Tuty.

Dalang

Ada pula Pegadaian yang telaten mengurus barang tua. Termasuk Unit Pegadaian Dekso, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang masih menerima gadai gamelan, barang yang pasti ditolak di Jakarta. Kepala Cabang Pegadaian Wates Susanta menuturkan, para dalang yang berasal dari DIY hingga kabupaten di Jawa Tengah seperti Wonosobo, Magelang, Muntilan, dan Purworejo memang terbiasa ”menitipkan” di Dekso ketika membutuhkan dana segar. Seusai Lebaran nanti, gamelan-gamelan itu akan diambil si empunya karena tawaran pentas pasti mengalir deras.

”Aset mereka hanya gamelan. Mereka sudah menjadi pelanggan setia sehingga perlu dilayani,” kata Susanta.

Seperti nilai gadai netbook Fabianca yang jatuh, nilai seni gamelan tidak diperhitungkan dalam menaksir. Pengelola Unit Pegadaian Dekso Adi Permana menyatakan, nilai taksir gamelan didasarkan bobot logam kuningan atau perunggu yang menjadi bahan dasar gamelan. Rata-rata, gamelan dihargai Rp 17.000-Rp 20.000 per kilogram. Makin tua gamelannya, makin murah nilai gadainya.

Untuk gong besar dengan berat 15-20 kilogram, misalnya, dihargai Rp 600.000-Rp 800.000. Dan tak pernah muncul keberatan atas nilai taksir itu. ”Tak pernah ada gamelan yang dilelang. Semuanya bisa ditebus oleh pemilik. Padahal, banyak yang datang mencari gamelan lelangan,” tambah Adi.

Pegadaian di Kulon Progo masih menerima barang agunan rumah tangga seperti panci penanak nasi, blender, hingga setrika listrik yang ditaksir dengan harga rata-rata Rp 50.000. Gudang Pegadaian di Wates juga dipenuhi barang elektronik, seperti televisi, radio, dan komputer jinjing, hingga kendaraan roda dua dan sepeda kayuh.

Namun, tak ada barang gadai yang seistimewa emas. ”Barang apa pun, nilainya pasti turun dalam jangka gadai empat bulan. Namun, emas tidak pernah turun. Emas mudah disimpan dan tidak menyita tempat. Itu mengapa nilai gadai emas selalu paling mahal dibandingkan barang gadai lainnya,” kata Tuty.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com