Namun, adanya individu dalam institusi penegak hukum yang diduga terlibat dalam merancang korupsi politik atau memetieskan kasus besar juga bukan kemustahilan. Itu sebabnya dibutuhkan warga negara yang kritis dan militan untuk mengawal demokratisasi. Kritik terhadap KPK adalah bentuk lain dari dukungan yang mahal, sama seperti kritik media dan masyarakat terhadap pemerintah.
Musuh kita adalah musuh demokrasi: kartel politik. Maka, perang hari ini adalah perang melawan kelompok siluman yang bergerak samar itu, yang ingin membajak proses demokratisasi demi kepentingan parsial. Bahkan, kekacauan politik merupakan konsekuensi dari perang antarkartel. Perang menguasai sentrum politik; perang membajak proses penegakan hukum; perang menumpuk kapital; dan perang merekayasa persepsi publik.
Pada situasi ini terkadang dapat dimaklumi jika presiden tak tegas terhadap kabinetnya. Apalagi koalisi yang tak berbasis ideologi mudah menjelma jadi kartel politik. KPK juga begitu. Independensi plus transparansi amatlah penting dijaga sebab kartelisasi selalu berpotensi mendelegitimasi pranata hukum. Tiap individu di tubuh KPK dituntut tidak saja bertanggung jawab secara etis, tetapi juga menjaga etika jabatan an sich.
Apalagi, dalam perang antarkartel, pranata politik dan hukum adalah target utama. Kartel tak pernah menghendaki pelaku politik bersih dan penegak hukum kuat dan jujur. Kartel selalu berusaha menempatkan orang ke dalam struktur-struktur itu. Siapa dan bagaimana mereka bekerja dalam struktur politik dan hukum? Inilah PR paling rumit yang menyandera kita dalam kebingungan semipermanen.
Hanya kepemimpinan kuat yang bisa mengubah keadaan meski, mengutip Winters, hal terbaik yang bisa kita katakan tentang SBY adalah bahwa dia menjaga Indonesia berjalan di tempat. Kita butuh lebih dari sekadar kepemimpinan poco-poco (istilah Megawati) yang maju selangkah mundur selangkah sebab kepemimpinan adalah fondasi bagi penegakan hukum dan prinsip politik bersih.