Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebun Karet Tergusur

Kompas.com - 14/10/2011, 02:46 WIB

Muara Enim, Kompas - Penambangan batubara semakin marak di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Pohon-pohon karet yang masih tegak berdiri pun ditebang dan lahannya digunakan untuk memperluas penambangan batubara. Sekitar 500 hektar kebun karet rakyat berganti menjadi area galian batubara tradisional sejak dua tahun lalu.

Pemantauan Kompas di lokasi tambang tradisional Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, Muara Enim, Sumatera Selatan, Kamis (13/10), lebih dari 1.000 warga menggali tanah di bekas kebun karet untuk mengambil batubara. Aktivitas itu tersebar di banyak lokasi yang menghasilkan sekitar 200 lubang galian pada kedalaman 5-15 meter. Setelah mengambil dan mengemas batubara ke dalam karung, mereka langsung mengangkut ke truk-truk yang telah menunggu di sepanjang tepi jalan desa itu.

Di salah satu lokasi, aktivitas ini telah merusak aliran sungai yang melintasi kebun karet sehingga aliran air terhenti.

Yandri, warga setempat, mengatakan, kebun mulai dibuka menjadi galian batubara sekitar dua tahun lalu ketika masyarakat mengetahui bahwa wilayah mereka telah dipatok pengusaha besar sebagai area tambang swasta. ”Pengusaha mendapat izin usaha penambangan (IUP) dari pemerintah daerah tanpa sepengetahuan kami. Bahkan, rumah kami ini masuk dalam lokasi izin tambang mereka,” ujar Yandri.

Sebagian warga telah menerima ganti rugi lahan dan kebun karet sebesar Rp 150 juta-Rp 200 juta. Warga menerima ganti rugi setelah dibujuk berulang kali oleh investor swasta.

”Semula warga menerima uang ganti rugi karena tergiur jumlahnya yang besar. Namun, lama-lama kami sadar kami sebenarnya rugi sebab kehilangan mata pencarian. Uang ganti rugi tak bertahan lama. Setelah habis, kami tak bisa apa-apa lagi,” ungkap Yandri.

Berdasarkan data Asosiasi Penambang Batubara Tradisional (Asmara), saat ini terdapat 7.824 warga petambang batubara tradisional di Desa Darmo dan sekitarnya, serta ribuan orang yang menjadi buruh, tukang ojek, dan penjual makanan di sekitar lokasi galian. Seorang penggali batubara, Irwan, mengatakan bisa memperoleh 40-50 karung dengan upah Rp 3.000 per karung. ”Saya bisa mendapat uang lebih banyak sejak bekerja di sini,” katanya.

Bahkan, sebagian warga setempat yang semula menganggur, setelah menekuni usaha galian batubara, kesejahteraan mereka kian membaik.

Usaha galian batubara disebut sebagai aktivitas ilegal. Pertengahan 2011 ini, Asmara Muara Enim mendesak pemerintah untuk mengatur usaha ini.

Menurut John, pengurus Asmara, sudah 68 izin usaha pertambangan bagi perusahaan swasta diterbitkan, tetapi masyarakat justru tak bisa memperoleh izin galian batubara. Itu menyebabkan seolah-olah usaha rakyat ilegal. ”Padahal, kami menggali (batubara) ini di tanah kami sendiri,” ujarnya. (ITA/IRE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com