Jakarta, Kompas -
Harapan itu mengemuka pada Peluncuran dan Bedah Buku CSF ”Nelayan dan Ketidakpastian Iklim-Tanggapan Nelayan atas Informasi Prakiraan Cuaca dan Potensi Ikan”, Selasa (1/11), di Jakarta. Pada acara tersebut, tim penulis diwakili Raja Siregar yang tampil sebagai pembicara, dengan penanggap Dedi Supriadi Adhuri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Marzuki dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) M Riza Damanik; dan nelayan dari Palabuhanratu, Yayan.
Menurut Raja, ada dua pengetahuan nelayan, yaitu kalender musim dan pengetahuan berdasarkan observasi untuk prediksi beberapa jam ke depan. Kalender musim tak bisa sepenuhnya diandalkan lagi karena pola musim berubah. Adapun pesan singkat berlaku 24 jam, dari pukul 7 pagi keesokan harinya. Isi informasi, yaitu kecepatan dan arah angin, gelombang (kuantitas dan kualitas), gelombang, dan awan.
Ada dua kelompok nelayan, yaitu nelayan dengan kerentanan tinggi—di perairan terbuka—dan nelayan dengan kerentanan rendah, yaitu nelayan yang terlindungi pulau-pulau dan selat.
Penelitian dilakukan di Teluk Sabas, Krui, Lampung Barat; Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat; Teluk Kwandang, Gorontalo Utara, Gorontalo; Desa Ketapan dan Bulusan, Banyuwangi; dan Muara Angke, Jakarta Utara (melaut ke Pulau Seribu).
Menurut Dedi, informasi itu dapat mengurangi ketidakpastian yang melingkupi nelayan di berbagai bidang. Sementara, Riza menyarankan agar rumah ibadah-rumah ibadah digunakan karena di pedesaan berkomunikasi melalui tempat ibadah amat efektif. Adapun Marzuki mengakui, BMKG memang belum melakukan penyebaran informasi untuk nelayan.