Oleh karena itu, kebijakan pengetatan yang diperkenalkan Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM seyogianya dibaca dalam koridor bahwa Dirjen Pemasyarakatan diberi kewenangan oleh PP tersebut. Jadi, bukan membuat kebijakan baru yang seolah-olah berada di luar ketentuan PP tersebut.
Mengapa Dirjen Pemasyarakatan diberi kewenangan demikian? Karena menurut konsiderans PP tersebut, pelaku tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya perlu diberi pengaturan yang berbeda dari pelaku tindak pidana lain dalam hal pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. PP yang lama perlu ditinjau ulang guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat yang berbeda dari sebelumnya.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang berlebihan dalam kebijakan pengetatan. Hanya saja, wacana umum selama ini lebih banyak didominasi oleh sudut pandang pelaku kejahatan di satu sisi, sembari pada saat yang sama abai terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Saya ingin menyebut kondisi ini dengan wacana timpang. Substansi kebijakan ini sebenarnya harus dianggap mulia. Ia tak harus kalah oleh arus besar yang kadung gandrung pada formalisme hukum yang lebih berorientasi pada pelaku kejahatan sambil melupakan dampak empiris yang telah diakibatkan oleh kejahatan tersebut.
Ada baiknya kita tak terperangkap dengan jebakan-jebakan pihak tertentu yang ingin menggagalkan agenda pemberantasan korupsi.