Di luar ruangan ditampilkan tiga karya instalasi. Salah satunya berjudul ”Candi Juxtagonis” karya komunitas Wijaya Kusuma. Karya itu menampilkan kotak-kotak dari seng dengan tanaman merambat menjulur di sela-selanya. Bayi-bayi merah merambati bangunan itu dari bawah hingga puncaknya.
”Ini refleksi kami tentang penghijauan di Jakarta yang mulai dilupakan. Yang dibangun sering kali pohon-pohon beton. Bayi-bayi itu melambangkan generasi yang lahir nanti. Apa yang akan kita tunjukkan kepada mereka,” ujar Prabhoto Satrio, salah seorang pembuatnya.
Menurut Seno, salah satu benang merah dari karya-karya seni rupa yang dipamerkan di Central Park adalah refleksi perupa bahwa warga Jakarta adalah boneka-boneka. Banyak karya menampilkan boneka sebagai obyeknya.
Boneka sebagai benda mati menyerap apa saja yang dipakaikan kepadanya, mirip warga Jakarta yang menyerap berbagai produk tanpa pandang bulu.
Jakarta Biennale memilih ruang di pusat perbelanjaan sebagai salah satu ruang publik bagi karya seni rupa. Biasanya pameran semacam ini identik dengan museum atau taman budaya dan sejenisnya.
Di pusat perbelanjaan, karya seni rupa itu mendapat perhatian dari segmen masyarakat yang berbeda. Banyak pengunjung pusat perbelanjaan belum terbiasa melihat karya-karya seni rupa semacam itu.
Banyak pengunjung tertarik dengan berbagai karya itu. Ada yang memotret, berfoto di sampingnya, dan berinteraksi dengan karya-karya yang interaktif. Namun, ada pula pengunjung yang tidak menyadarinya. Karya-karya itu seperti menyatu dengan aktivitas mal, tidak tampak sangat menonjol jika pengunjung tidak benar-benar memperhatikan.
Pameran di Central Park akan digelar hingga 15 Januari. Jakarta Biennale telah digelar sejak Desember. Karya dipamerkan di Galeri Nasional dan Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Karya seni rupa kontemporer juga dipamerkan di Taman Ayodya, Taman Menteng, dan Kampung Rambutan.