Sesosok bayi duduk di atas telapak tangan. Tali pusar masih melingkari. Kotoran berlepotan di bawah tubuhnya. Si bayi tampak asyik memegang gadget
”Baby Game”. Itulah judul patung bayi raksasa karya perupa Dunadi yang dipajang di mal Central Park, Jakarta Barat, dalam ajang Jakarta Biennale #14.2011, mulai Kamis (5/1).
Perhelatan Jakarta Biennale di Central Park mengambil
”Patung itu merefleksikan fenomena bahwa sejak bayi, warga Jakarta sudah tertambat pada dunia game. Jakarta menjadi sasaran empuk uji coba pemasaran barang dan jasa dari sejumlah penjuru dunia,” kata salah satu kurator pameran, Seno Joko Suyono.
Refleksi Jakarta sebagai tempat sampah industri gadget dan dunia hiburan diusung perupa Donna Prawita Arisoeta dalam karyanya, ”A fables about brands and logos’s”. Karya instalasinya menampilkan tas-tas kertas bertuliskan merek-merek terkenal, semacam Guess, Versace, DKNY, dan Levi Strauss & Co.
Dipajang di lorong di antara gerai-gerai ternama yang menawarkan potongan harga, karya itu sangat pas mengkritisi betapa konsumtif warga Ibu Kota terhadap barang bermerek terkenal. ”Tak peduli merek-merek itu palsu, orang Jakarta tetap menggemarinya,” ujar Seno.
Busana model terbaru, yang sebetulnya tidak cocok dengan tubuh warga Jakarta, juga banyak dikonsumsi, menjadikan warga korban mode. Itu tergambar dalam karya instalasi fashion berjudul ”Transporter dan Transformer” oleh perupa Tiarma Sirait berupa manekin berbalut busana ala era Victoria, tetapi dengan motif batik.
Masih ada karya perupa lain, seperti ”Sumbangan Berhadiah” karya Entang Wiharso, ”Exploring Scale” karya Anang Saptoto, ”Bersama-sama Membuat Hijau” karya I Nyoman Agus Wijaya, dan ”I Love Every Little Thing About Me” karya Bunga Jeruk.
Sebanyak 33 perupa berpartisipasi dalam pameran di Central Park. Karya-karya itu digelar di lantai dasar, lantai satu, dan Tribeca Park di luar ruangan.
Di luar ruangan ditampilkan tiga karya instalasi. Salah satunya berjudul ”Candi Juxtagonis” karya komunitas Wijaya Kusuma. Karya itu menampilkan kotak-kotak dari seng dengan tanaman merambat menjulur di sela-selanya. Bayi-bayi merah merambati bangunan itu dari bawah hingga puncaknya.
”Ini refleksi kami tentang penghijauan di Jakarta yang mulai dilupakan. Yang dibangun sering kali pohon-pohon beton. Bayi-bayi itu melambangkan generasi yang lahir nanti. Apa yang akan kita tunjukkan kepada mereka,” ujar Prabhoto Satrio, salah seorang pembuatnya.
Menurut Seno, salah satu benang merah dari karya-karya seni rupa yang dipamerkan di Central Park adalah refleksi perupa bahwa warga Jakarta adalah boneka-boneka. Banyak karya menampilkan boneka sebagai obyeknya.
Boneka sebagai benda mati menyerap apa saja yang dipakaikan kepadanya, mirip warga Jakarta yang menyerap berbagai produk tanpa pandang bulu.
Jakarta Biennale memilih ruang di pusat perbelanjaan sebagai salah satu ruang publik bagi karya seni rupa. Biasanya pameran semacam ini identik dengan museum atau taman budaya dan sejenisnya.
Di pusat perbelanjaan, karya seni rupa itu mendapat perhatian dari segmen masyarakat yang berbeda. Banyak pengunjung pusat perbelanjaan belum terbiasa melihat karya-karya seni rupa semacam itu.
Banyak pengunjung tertarik dengan berbagai karya itu. Ada yang memotret, berfoto di sampingnya, dan berinteraksi dengan karya-karya yang interaktif. Namun, ada pula pengunjung yang tidak menyadarinya. Karya-karya itu seperti menyatu dengan aktivitas mal, tidak tampak sangat menonjol jika pengunjung tidak benar-benar memperhatikan.
Pameran di Central Park akan digelar hingga 15 Januari. Jakarta Biennale telah digelar sejak Desember. Karya dipamerkan di Galeri Nasional dan Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Karya seni rupa kontemporer juga dipamerkan di Taman Ayodya, Taman Menteng, dan Kampung Rambutan.