Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pembatasan Tinggal Diumumkan

Pemerintah Tak Tegas soal BBM

Kompas.com - 25/04/2012, 06:20 WIB

Sebelumnya, ujar Aviliani, ketidakpastian pada masyarakat timbul terkait Pasal 7 Ayat (6A) Undang-Undang APBN-P 2012 yang memberikan ruang bagi pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sewaktu-waktu.

Efek ketidakpastian itu di bidang ekonomi, menurut dia, setidaknya ada dua hal. Pertama adalah ekspektasi inflasi akan semakin besar. Kedua, investor di sektor finansial cenderung bersikap menunggu.

Ia menambahkan, pihak KEN sudah memberikan masukan sebelum sidang kabinet yang dilanjutkan dengan pengumuman oleh Hatta. Presiden bersama sejumlah menteri di bidang perekonomian mendengarkan masukan dari KEN. ”Salah satu yang diusulkan KEN adalah memberikan kepastian kepada masyarakat soal harga BBM bersubsidi,” ujarnya.

”KEN sudah mengusulkan, sebaiknya pemerintah mengumumkan harga BBM tidak naik sampai akhir tahun, tetapi diikuti dengan program pembatasan BBM bersubsidi yang harus dilakukan secepatnya sesuai kesiapan para pemangku kepentingan, seperti pemda dan SPBU,” kata Aviliani.

Menurut perhitungan KEN, keuangan negara akan tetap sehat meskipun harga BBM bersubsidi tidak naik sampai akhir tahun. Namun, hal ini harus dibarengi dengan program pengendalian BBM bersubsidi yang paling lambat harus sudah mulai dilakukan pada Juli 2012.

Asumsinya, pemerintah dan DPR dalam pembahasan RAPBN-P 2012 belum memperhitungkan penerimaan negara yang juga akan naik akibat kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Hal ini tentunya bisa menjadi faktor penyeimbang.

”Prinsipnya, APBN aman tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi, tetapi harus diikuti dengan program pembatasan yang paling lambat dilaksanakan bulan Juli karena biasanya sampai dengan bulan ke-6, cash flow pemerintah masih aman,” katanya.

Sistem stiker merepotkan

Sementara itu, pengusaha dan pengurus stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) akan direpotkan oleh peraturan baru terkait pembatasan penggunaan Premium. Hal ini karena selain menjual BBM, kenyataannya SPBU juga harus melakukan pengawasan siapa saja yang berhak dan tidak berhak mendapatkan BBM bersubsidi.

Ketua Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Malang Teuku Rizal Pahlevi, Selasa, menjelaskan, meski SPBU tetap akan mematuhi keputusan dan kebijakan pemerintah dalam hal ekonomi BBM, di lapangan yang berhadapan dengan masyarakat adalah pengusaha SPBU dan karyawannya. Belum lagi pengusaha juga memikirkan biaya sistem pemeriksaan stiker yang mungkin harus ditambahkan.

”Tidak mudah membatasi pengaturan penjualan jenis BBM tertentu hanya pada kendaraan tertentu. Tidak mudah meminta kesadaran masyarakat untuk sukarela membeli BBM Pertamax yang harganya pasti mahal karena mencapai lebih dari Rp 10.000 per liter, padahal sebelumnya Rp 6.000 per liter,” katanya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com