Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PEMILU ISRAEL

Menjual Palestina

Kompas.com - 18/10/2012, 04:39 WIB

Oleh Trias Kuncahyono

Tel Aviv, 1996. Pemilu di Israel. Hanya ada dua pilihan: memilih Shimon Peres atau Benjamin Netanyahu. Memilih Shimon Peres berarti mendukung kubu perdamaian, koalisi kiri-tengah. Partai Buruh-nya Peres yang memprakarsai langkah perdamaian dengan PLO dan menandatangani kesepakatan berdirinya Palestina tahun 1993.

Memilih Partai Likud pimpinan Netanyahu dan sekutunya sayap kanan berarti mendukung kemenangan kubu nasionalis. Ketika itu, menurut Netanyahu, pemilu merupakan referendum atas perdamaian. Ia mengatakan, mana yang harus dipilih: mendorong terus perdamaian dengan mengorbankan keamanan, dan tanpa keamanan pada akhirnya tanpa perdamaian.

Hasilnya? Kubu Peres kalah. Kemenangan direbut kubu nasionalis. Netanyahu terpilih sebagai perdana menteri (1996-1999). Hasil pemilu menegaskan bahwa rakyat Israel masih melihat perjanjian perdamaian saja tak cukup. Yang mereka butuhkan adalah bersikap tegas, melumpuhkan musuh sehingga perdamaian dan keamanan benar-benar tercipta.

Tel Aviv, Oktober 2012. Knesset menyetujui usul Netanyahu untuk mengadakan pemilu lebih cepat. Semula pemilu dijadwalkan pada Oktober 2013, tetapi dipercepat menjadi 22 Januari 2013. Netanyahu, yang menjabat sebagai perdana menteri sejak 2009, mengusulkan pemilu lebih cepat setelah tak tercapai kesepakatan dengan koalisi partainya soal anggaran negara.

Isu pokoknya tetap sama dengan Pemilu 1996: masalah keamanan dan perdamaian. Masyarakat memang tidak puas terhadap performa perekonomian di bawah Netanyahu, tetapi puas dengan sikap tegasnya terhadap Palestina dan juga Iran. Sikap keras dan tidak kompromi Netanyahu terhadap Palestina menjadi dagangan utamanya dan itu yang diinginkan rakyat Israel. Karena bagi rakyat Israel, keamanan negerinya adalah hal yang paling utama. Mereka berpendapat ketidakamanan datang dari Palestina.

Di tangan Netanyahu, Israel dapat melalui masa-masa sulit, terutama setelah Perang Gaza 2009. Misalnya, Israel dapat menghindar dari tuduhan melanggar HAM dalam Perang Gaza, seperti diungkapkan dalam Goldstone Report; dan dapat mengatasi persoalan dengan Turki terkait dengan tragedi kapal Turki pembawa tim kemanusiaan yang akan ke Gaza, Mei 2010. Netanyahu juga bersikap tegas menghadapi Iran.

Itulah sebabnya Netanyahu berani mempercepat pelaksanaan pemilu karena yakin akan dapat memenanginya. Apalagi, pesaingnya tidak ada yang kuat. Sebut saja, Shelly Yachimovich dari Partai Buruh. Ia dipandang hebat dalam masalah politik dalam negeri, tetapi dinilai tidak punya pengalaman internasional.

Kandidat lain, Shaul Mofaz dari Partai Kadima, yang punya pengalaman banyak di pemerintahan dan pernah menjadi menteri pertahanan. Namun, kredibilitasnya turun setelah meninggalkan koalisi pimpinan Netanyahu, tiga bulan setelah bergabung. Tzipi Livni (Kadima), yang pernah populer ketika menjadi menlu saat Perang Gaza pun, kecil kemungkinan ikut bersaing. Tokoh lain, seperti mantan PM Ehud Barak dan mantan PM Ehud Olmert, tak begitu populer lagi.

Karena itu, kalau nanti Netanyahu menang lagi, itu berarti kemenangan kubu nasionalis yang mengutamakan keamanan bukan perdamaian dengan Palestina. Yang lebih penting lagi, masa depan proses perdamaian pun terhambat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com