Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kudu Insight
Riset dan analisis

Kudu Insight merupakan kolaborasi Kompas.com dan Kudu, periset dan pengolah data. Kudu Insight menyajikan kajian, analisis, dan visualisasi olah data digital atas fenomena dan peristiwa yang mencuat di publik dan ranah digital.

kolom

AI dan Jurnalistik: Pemusnah Profesi atau Partner Kolaborasi?

Kompas.com - 13/09/2023, 06:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Kathleen Alicia Bong*, Ingki Rinaldi**, & Palupi Annisa Auliani

TEKNOLOGI kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) dalam praktik jurnalistik bukanlah hal baru. Setidaknya sejak sekitar satu dekade silam, Associated Press (AP) sudah menggunakannya.

Dikutip dari laman ap.org, upaya penggunaan AI dimulai AP pada 2014 tatkala desk “Business News” mulai mengotomasi produksi konten berita-berita yang berhubungan dengan pendapatan berbagai perusahaan.

Sekitar empat tahun kemudian, Xinhua, kantor berita di China, mulai menggunakan news anchor buatan yang dihasilkan AI.

Penggunaan teknologi AI dalam bidang itu merupakan yang pertama di dunia. Penampilannya disebut sebagai pembaca berita artifisial yang tanpa capek menyimulasikan suara, gerakan wajah, dan gestur dari penyiar manusia. (Kuo, 2018).

Lalu, setelah teknologi AI generatif-komunikatif ChatGPT (Generative Pre-trained Transformer) yang dikembangkan OpenAI dibuka kepada publik pada akhir 2022, terjadi perluasan pengadopsian AI di berbagai bidang.

Baca juga: Babak Baru Perang Kecerdasan Buatan: Bard Menjawab Tantangan ChatGPT

Perluasan itu termasuk ke bidang visual kreatif, pemrograman komputer, penulisan kreatif, dan pendidikan. Perkembangan signifikan adopsi AI terjadi juga dalam praktik jurnalistik.

Salah satu yang relatif revolusioner dalam perluasan penggunaan AI dalam praktik jurnalistik adalah peluncuran NewsGPT (newsgpt.ai) pada Maret 2023. Ini adalah platform pemberitaan yang sepenuhnya mengandalkan teknologi AI untuk menghasilkan konten.

Platform NewsGPT bahkan dengan berani mengusung tagline “The Unhuman Truth – By AI”. NewsGPT mengklaim pula kemampuan menghasilkan berita yang tidak bias dan tanpa agenda tersembunyi.

Di Indonesia, Beritagar.id yang pada 2019 berubah nama menjadi Lokadata.id, juga pernah melakukan eksperimen dengan menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan berita hasil pertandingan sepak bola.

Produk yang diperkenalkan pada 2018 tersebut dikenal dengan nama Robotorial. Namun, Amran & Irwansyah (2018) menyebutkan bahwa Robotorial tidak sepenuhnya melakukan praktik elemen jurnalisme menyusul belum adanya kesadaran etika sebagaimana dimiliki manusia.

Riset Amran & Irwansyah juga menemukan bahwa peran jurnalis manusia masih dibutuhkan saat menulis berita selain hasil pertandingan.

Baca juga: Teknologi Digital dan Kecerdasan Buatan Hanya Ancaman buat Pekerjaan Manusia?

Belakangan, seiring semakin maraknya platform dan aplikasi penghasil gambar bergerak dari teks berteknologi AI yang tersedia secara terbuka di jejaring internet, stasiun televisi TV One juga mula menghadirkan presenter AI pada 21 April 2023.

Meskipun, stasiun televisi itu tetap mempertahankan presenter manusia sebagai host utama.

Praktik jurnalistik berbasis AI telah dan terus pula dijajal dan dijalankan di Kompas.com, salah satu media online yang berupaya untuk tak pernah berhenti berinovasi.

Secara garis besar, eksplorasi AI di Kompas.com mencakup ranah machine learning berbasis algoritma otomatisasi dan penggunaan AI generative dalam produksi konten.

Di antara proyek AI yang sudah dan masih dijalankan di media ini mulai dari rekomendasi video dan artikel otomatis, virtual host, perluasan cara memilih dan memilah angle artikel, hingga modifikasi teks menjadi video.

Redaktur Pelaksana Kompas.com, Amir Sodikin, menyatakan penggunaan AI di media ini punya sejumlah sasaran peluang.

Tercakup dalam sasaran itu antara lain upaya mendongkrak efisiensi dan produktivitas, memperbanyak sumber daya untuk pewujudan jurnalisme berkualitas, serta membidik pengguna baru berdasarkan preferensinya.

“Sejumlah aturan kami lekatkan dalam semua eksperimen berbasis AI,” ujar Amir dalam perbincangan dengan penulis, pekan lalu.

Di antara aturan tersebut, sebut Amir, adalah kehadiran disclaimer atas setiap konten hasil produksi AI, kepastian ada pendampingan manusia, AI tidak dipakai untuk konten sensitif, serta AI tidak digunakan dalam pembuatan berita tentang isu aktual yang masih berlanjut (running).

Kolaborasi teknologi dan manusia

Daugherty & Wilson (2018) dalam karya berjudul “Human + Machine: Reimagining Work in the Age of AI” menuliskan tentang teknologi AI yang saat ini memungkinkan mesin dan manusia bekerja kolaboratif dengan cara-cara terbaru.

Kerja kolaboratif tersebut mengubah kebiasaan kerja dan menuntut kita untuk mengelola para pegawai dan aspek operasional dalam cara-cara yang secara dramatis berbeda dengan sebelumnya.

Baca juga: Begini Bunyi Virus Corona saat Jadi Musik...

Kolaborasi antara manusia dan mesin itu pula yang menjadi pemahaman sejumlah praktisi dan atau pakar jurnalistik atas kehadiran AI. Salah satunya diungkapkan Mattia Peretti, saat menjadi Manajer JournalismAI pada 2022.

Paretti mengatakan, bukannya menggantikan atau bahkan merampas pekerjaan jurnalis, AI hanya sebatas alat yang dapat digunakan untuk mendukung jurnalis dalam melaksanakan tugas mereka.

Journalism AI adalah proyek riset dan pelatihan yang diselenggarakan Polis, sebuah lembaga think tank jurnalisme internasional di London School of Economics and Political Science.

Pada dasarnya, AI tidak mempunyai akuntabilitas atas pekerjaannya. Tidak ada sosok yang konkret di balik hasil pekerjaan AI.

Selain itu, AI juga tidak mempunyai kemampuan analisis dan berintuisi seperti yang dimiliki manusia, kemampuan untuk bersimpati dengan moral dan etika yang ada, serta rasa tanggung jawab.

AI juga tidak mempunyai emosi, humor, dan skeptisisme—terutama kepekaan untuk mendeteksi agenda tersembunyi di balik suatu kejadian atau berita. Intinya, AI tidak mempunyai sikap-sikap dasar yang wajib dimiliki jurnalis.

Meski begitu, CEO kantor publishing Axel Springer, Mathias Doepfner, berpendapat bahwa AI memang punya potensi menggantikan peran jurnalis.

“AI memiliki potensi untuk menjadikan jurnalisme independen lebih baik dibandingkan sebelumnya, atau untuk menggantikannya,” kata Doepfner sebagaimana dikutip dalam artikel yang ditulis Jonathan Yerushalmy (2023) di laman The Guardian.

Contoh tulisan kolaborasi AI-manusia

Fungsi kolaborasi antara AI dan manusia dalam menghasilkan konten jurnalistik sepertinya menjadi praktik yang paling memungkinkan terjadi pada saat ini.

Berikut ini ditampilkan salah satu konten yang dihasilkan secara otomatis oleh mesin berbasis AI bernama Asoca yang dikembangkan oleh Kudu—institusi yang berkolaborasi dengan Kompas.com menaungi rubrik Kudu Insight—setelah penulis mengetikkan kata kunci “Jurnalisme Robot”.

Judul otomatis yang diberikan Asoca adalah “Pengembangan Teknologi AI dan Inovasi Komunikasi: Masa Depan Industri Jurnalisme”.

Setelah melalui proses penyuntingan dan penambahan sejumlah konteks, berikut ini konten otomatis yang dihasilkan:

"Industri jurnalisme di Indonesia didorong mengadopsi teknologi kecerdasan buatan (AI). Pengadopsian ini hendaknya dilakukan dalam berbagai dimensi aktivitas industri jurnalisme. Keterbukaan dan keberanian dalam mengadopsi teknologi AI perlu dimiliki para pelaku industri jurnalisme. Pasalnya, selain meningkatkan efisiensi, teknologi ini juga dapat meningkatkan nilai pelaku industri jurnalisme dan media. Sekalipun dampak dari pengadopsian teknologi kecerdasan buatan dalam jurnalisme, pada saat ini belum terlihat, namun di masa mendatang publik akan menikmati hasil kecerdasan buatan dalam jurnalisme.”

Sementara dari kata kunci “Jurnalisme AI” judul otomatis yang diberikan adalah “Mengenal Teknologi AI dan Penggunaannya“.

Setelah melalui proses penyuntingan dan penambahan sejumlah konteks, berikut ini adalah konten otomatis yang dihasilkan:

“Penerapan teknologi kecerdasan buatan memang membawa perubahan besar, namun kita harus memastikan bahwa dampaknya dapat dikelola dengan baik untuk kepentingan ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam menghadapi era teknologi AI, kita perlu memahami dan mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan yang akan terjadi. Pengembangan keterampilan dan pelatihan menjadi kunci penting dalam mempersiapkan tenaga kerja menghadapi perkembangan teknologi ini. Dengan pemahaman yang baik, kita dapat memanfaatkan potensi teknologi AI sebaik-baiknya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan.”

Asoca menghasilkan konten dengan terlebih dahulu menyaring informasi faktual, relevan, dan aktual menggunakan kata kunci yang dipergunakan di jejaring internet. Setelah itu, Asoca dapat menghasilkan beberapa jenis visualisasi analisis dan rekomendasi topik (content pillars) teraktual yang bisa dipilih penulis.

Dalam contoh di atas, penulis memilih rekomendasi topik “pengembangan teknologi ai”, “inovasi teknologi komunikasi”, dan “penggunaan presenter ai” dari kata kunci “Jurnalisme Robot”.

Adapun dari kata kunci “Jurnalisme AI”, rekomendasi topik yang dipilih adalah “teknologi ai”, “penggunaan teknologi ai”, dan “memahami teknologi ai”.

Berbagai rekomendasi topik yang berasal dari kondisi terkini yang berhubungan dengan sejumlah kata kunci itu lantas menjadi bahan bagi Asoca untuk menghasilkan konten otomatis memakai bantuan AI.

Banyak atau sedikitnya konten berikut berbagai formulasi penulisan dan sejumlah penyesuaian bisa secara otomatis dilakukan lewat beragam fitur, selain metode penyesuaian secara manual.

Setelah itu, penulis melakukan pengeditan seperlunya dengan menambahkan konteks dan informasi tertentu. Hal ini dilakukan setelah sebelumnya melakukan pengecekan fakta terkait konten otomatis yang dihasilkan.

“Asisten” jurnalis

Selain contoh tulisan di atas, yang dihasilkan oleh aplikasi Asoca dengan kolaborasi bersama manusia, terdapat pula tugas-tugas lain dari jurnalis yang bisa dibantu AI. Tentu, ini dalam konteks yang merujuk pada kemampuan AI pada saat ini.

Beberapa tugas ini belum bisa melibatkan AI secara optimal karena sejumlah keterbatasan yang masih dimiliki teknologi AI. Bila kelak kapasitas AI dalam aspek-aspek tersebut dikembangkan, AI akan sepenuhnya bisa dipercaya melaksanakan tugas-tugas tersebut.

Pada saat ini, campur tangan manusia masih sangat penting dalam mengawasi hasil kerja AI. Berikut ini sejumlah tugas yang sudah bisa dilakukan AI untuk membantu kerja-kerja jurnalistik:

1. Proofreader

AI adalah alat yang paling bisa diandalkan dalam menyelesaikan tugas-tugas harian yang sifatnya cenderung berulang dan biasa, atau tidak terlalu kompleks.

Bila kita membaca berita dari sejumlah kanal media massa tertentu, kita masih sering menemukan kesalahan ketik dan tata bahasa yang lolos proofreading.

Oleh sebab itu, jurnalis bisa mulai memanfaatkan AI sebagai grammar checker sekaligus editor yang memperhatikan aspek teknis, tingkat akurasi, dan kualitas tulisan.

AI juga bisa membantu pembuatan produk-produk jurnalistik sastrawi atau produk lain yang bersifat kreatif.

Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa AI mampu menyediakan pilihan kosakata unik dan indah yang lebih luas. Penulis dapat memanfaatkan hal ini untuk menciptakan karya yang lebih indah dan lebih bebas dalam bermain kata secara kreatif.

Walaupun saat ini AI belum sepenuhnya mampu mengidentifikasi penggunaan bahasa, khususnya bahasa Indonesia, masih ada banyak ruang improvisasi bagi AI untuk mereduksi kesenjangan tersebut.

Untuk saat ini, para editor masih harus melakukan pengecekan kembali meskipun telah memanfaatkan AI sebagai proofreader.

Para editor masih mempunyai peran penting dalam mengecek dan memastikan efektivitas kalimat dalam karya para jurnalis. Dengan demikian, kolaborasi antara manusia dan AI dapat menghasilkan karya yang lebih berkualitas dan memikat.

2. Fact checker

Tidak jarang tokoh-tokoh publik seperti politikus mengutarakan hal-hal yang kurang tepat untuk menaikkan citra mereka. Dalam pembuatan hasil karya jurnalistik, sangat pamali bagi jurnalis untuk menyampaikan informasi yang menyesatkan publik.

Oleh sebab itu, bila ada sebuah informasi yang kurang bisa dipercayai, jurnalis bisa memanfaatkan AI untuk menyediakan platform fact checking secara real-time.

Untuk tujuan ini, jurnalis antara lain bisa memanfaatkan teknologi speech-to-text. Sekarang, sudah banyak platform yang menyediakan fitur speech-to-text.

Jurnalis bisa memanfaatkan natural language processing oleh AI untuk bisa mengecek kebenaran dari perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh para tokoh publik—apakah ada data valid yang mendukung pernyataan mereka di internet atau basis data tertentu yang bisa diakses oleh jurnalis.

Meski begitu, kumpulan AI yang bisa diakses secara bebas oleh publik masih sering “berhalusinasi” dalam menyediakan informasi. Tak jarang informasi yang disuguhkan AI adalah informasi “khayalan” yang tidak pernah terjadi.

Untuk mengatasi hal ini, satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh jurnalis adalah mempelajari cara menyusun prompt agar AI dapat bekerja seakurat mungkin sesuai harapan.

Misal, menyediakan sebanyak mungkin informasi eksklusif yang berhubungan dengan topik yang hendak dibahas.

3. Data journalism

AI sebagai data journalist sudah harus dinormalisasi dalam bidang jurnalistik. Salah satu keunggulan dari penggunaan AI adalah kemampuannya untuk memproses dan menganalisis data dalam jumlah yang besar secara cepat dan efisien.

Salah satu pengaruh AI dalam bidang data journalism adalah memroses kebocoran data besar Panama Papers pada 2016. Tentunya akan memakan waktu yang sangat lama bagi manusia untuk menelaah data dari 11,5 juta dokumen.

Oleh sebab itu, sudah waktunya bagi data untuk dianalisis dan disaring oleh mesin atau AI. Bidang jurnalistik akan semakin maju bila AI bisa mengambil peran yang lebih besar dalam data journalism.

Dengan begitu, tenaga para jurnalis juga bisa dialokasikan ke hal lain yang lebih penting yang tidak bisa dilakukan oleh AI.

4. Trend analyst

AI bisa menjadi analis tren, khususnya di media sosial. AI bisa memonitor kejadian dengan news values dari media sosial sehingga jurnalis tidak kalah cepat menyajikan berita dibanding media sosial.

Tidak perlu khawatir soal disinformasi karena AI bisa diatur untuk mengidentifikasi pola-pola disinformasi atau hate speech sehingga pemberitaan yang dilakukan jurnalis juga lebih efisien dan akurat.

AI juga bisa menganalisis reaksi dan engagement audiens sehingga jurnalis dapat mengerti preferensi konten audiens. Hal ini tentunya akan sangat membantu jurnalis dalam mengimprovisasi kualitas dan jenis konten yang disajikan kepada publik.

5. Automated newsroom

AI bisa membantu jurnalis mencari ide liputan. Tidak hanya itu, AI juga bisa membantu sebagai editor foto atau video yang akan ditayangkan dalam newsroom.

Salah satu software editing andalan jurnalis, Adobe, telah menyediakan berbagai layanan AI seperti yang disematkan dalam produk Photoshop dan Premiere Pro. Jurnalis bisa mengekspresikan kreativitas mereka melalui prompt kepada AI.

Misal, jurnalis bisa menjalankan prompt bagi AI untuk melakukan cutting video yang hendak ditayangkan sesuai dengan imajinasi. Layanan ini akan sangat berguna untuk mempercepat proses produksi.

Tidak hanya itu, AI juga bisa membantu jurnalis mencari kesalahan dalam script berita agar proses produksi semakin cepat.

6. Personal assistant

Terakhir, AI bisa menjadi asisten pribadi jurnalis. AI dapat menolong jurnalis dalam hal-hal kecil seperti menjadwalkan wawancara, mencatat hasil rapat atau konferensi pers, dan membantu melakukan riset topik.

Jurnalis tidak perlu takut terhadap perubahan yang akan terjadi akibat AI. Jika AI bisa hebat, manusia pun memiliki potensi besar yang bahkan bisa melebihi AI.

Daripada takut kalah dengan AI, manusia harus memikirkan cara mengoptimalkan AI guna menghadapi beragam tantangan peradaban yang cenderung semakin kompleks.

Profesi jurnalis semestinya menjadi salah satu pekerjaan yang tidak dapat digantikan oleh AI. Sebaliknya, jurnalis dan AI bisa berkolaborasi untuk menciptakan karya-karya luar biasa.

Keduanya bisa berbagi tugas. AI mengerjakan tugas yang sangat biasa dan tidak membutuhkan kemampuan khusus, sedangkan jurnalis bisa memfokuskan diri mereka untuk mengerjakan hal lain yang memerlukan perhatian khusus.

Dengan ini, jurnalis berpeluang bisa semakin memuaskan hasrat publik akan kebenaran yang lebih komprehensif dan bermakna.

 

*) Mahasiswi Program Studi Digital Journalism di Universitas Multimedia Nusantara
**) CEO Kudu

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com