Salah satu tantangan yang dihadapi perusahaan dalam adopsi artificial intelligence adalah dari talent atau SDM, yang memiliki keterbatasan dalam pemahaman dan keahlian dalam mengoperasikan tools dan teknologi AI
"Kabar baiknya, perusahaan sudah mulai mengadakan program upskilling dan reskilling agar karyawan memperoleh keterampilan baru, khususnya di bidang AI," kata Marina.
Bos Cisco Indonesia itu menambahkan, perusahaan bisa menjalin kerja sama dengan pihak pemerintah atau swasta untuk upskilling dan reskilling karyawan ini.
Marina menyontohkan, Cisco memiliki program Cisco Networking Academy sejak 1998. Program ini sudah melatih lebih dari 300.000 pelajar dan pekerja di bidang keamanan siber, Internet of Things (IoT), hingga artificial intelligence.
"Fokus pada pelatihan ulang talenta juga penting untuk menjaga semangat kerja yang tinggi di antara para karyawan. Karena penerapan teknologi AI kemungkinan besar akan menyebabkan perubahan pada cakupan beberapa pekerjaan dari karyawan itu sendiri," kata Marina.
Di Indonesia, kesiapan pilar tata kelola (gorvenance) masih terbuka untuk peningkatan, di mana sebagian besar organisasi diklasifikasikan sebagai Chaser atau Followers (71 persen). Sementara perusahaan yang benar-benar siap dengan tata kelola AI ada sekitar 25 persen.
Marina mengungkapkan, kecerdasan buatan menjanjikan manfaat transformatif. Namun, dalam penerapannya, AI memiliki sejumlah risiko sehingga menuntut perusahaan untuk memiliki kerangka kebijakan dan protokol yang kuat.
Hal tersebut diperlukan untuk memandu pengelolaan data dan sistem AI yang etis dan bertanggung jawab.
"Penegakan tata kelola yang baik juga menjadi faktor penentu kesuksesan dalam mengadopsi AI," kata Marina.
Marina mengungkapkan, faktor terakhir yang menjadi faktor penentu kesuksesan perusahaan dalam mengadopsi AI adalah menciptakan budaya yang mendukung inovasi.
"Budaya ini harus dimulai dari atas (jajaran C-level/bos) sampai ke bawah," lanjut Marina.
Studi ini menemukan bahwa Dewan Direksi dan tim kepemimpinan sangat reseptif dalam memanfaatkan kekuatan transformatif AI.
Namun, masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk melibatkan manajemen level menengah. Karena 16 persen dari mereka memiliki penerimaan yang terbatas atau tidak sama sekali terhadap AI.
Tantangan di pilar budaya ini bahkan lebih besar lagi bagi para karyawan, dimana 31 persen perusahaan melaporkan bahwa karyawan mereka memiliki keterbatasan dalam kemauan untuk mengadopsi AI, atau bahkan menolaknya.
Dengan kondisi tersebut, di Indonesia, hanya ada 7 persen perusahaan yang masuk kategori siap sepenuhnya (Pacesetters), 56 persen masuk kategori cukup siap (Chasers), 33 persen di kategori kesiapan terbatas (Followers), dan 4 persen di kategori tidak siap (Laggards).
Oleh karena itu, kata Marina, penting bagi dunia usaha untuk mengambil tindakan sekarang, dan nantinya siap memanfaatkan teknologi AI sepenuhnya.
Dalam studi ini, Cisco memberikan lima saran untuk perusahaan untuk meningkatkan kesiapan AI-nya:
Laporan lengkap Cisco AI Readiness Index untuk wilayah Indonesia selengkapnya bisa dibaca di tautan berikut ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.