Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Alasan KawalPemilu Masih Berbasis Web, Bukan Aplikasi

Berbeda dari platform sejenis yang sebagian sudah menggunakan aplikasi mobile untuk pengumpulan data dari relawan, KawalPemilu masih menggunakan situs web yang beralamat di KawalPemilu.org.

Co-founder KawalPemilu Elina Ciptadi mengatakan format situs web sengaja tetap digunakan karena dinilai lebih ramah kuota data dan lebih cocok untuk kondisi di Indonesia.

"Web lebih sederhana," ujar Elina ketika dihubungi oleh KompasTekno pada Selasa (13/2/2024). "Banyak orang tidak selalu memperbarui aplikasi ke versi terbaru," imbuhnya.

Meskipun masih berbasis situs web, KawalPemilu sebenarnya relatif mudah digunakan untuk anggota masyarakat yang ingin berpartisipasi ikut memantau proses penghitungan suara sebagai relawan.

Situs KawalPemilu dapat diakses lewat peramban desktop maupun mobile. Pengunjung kemudian login dengan akun Gmail, untuk selanjutnya langsung mengunggah foto form C1 (kini C.Hasil) dari tempat pemungutan suara (TPS) yang dipantau.

"Benar-benar hanya tiga langkah ini. Tanpa perlu download app, tanpa perlu app update, tanpa perlu registrasi dan memberikan data pribadi," jelas Elina.

Ada sistem anti-penggelembungan suara

Seperti di dua pemilu sebelumnya, KawalPemilu menggunakan sistem urun daya alias crowdsourcing lewat partisipasi masyarakat untuk memotret halaman kedua form C.Hasil di TPS yang memuat hasil penghitungan suara.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2023, formulir C.Hasil memang dipasang di papan di TPS dan bisa didokumentasikan oleh masyarakat dalam bentuk foto ataupun video.

Elina mengatakan, pada Pemilu 2019 lalu, relawan KawalPemilu mengumpulkan data penghitungan suara sebanyak lebih dari 100.000 TPS atau sektitar 15 persen dari jumlah total TPS.

Sisanya diperoleh menggunakan salinan C1 dari Sistem Informasi Penghitungan (Situng) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ketika itu sempat terjadi upaya gangguan terhadap Kawal Pemilu, berupa kiriman data C1 palsu dan penggelembungan suara yang menyulitkan proses penghitungan real count oleh tim moderator.

Namun, Elina mengatakan pihak KawalPemilu sudah memiliki sistem verifikasi berlapis untuk mencegah kejadian tersebut.

Tiap foto dicek secara manual oleh reviewer, kemudian input data juga dicek ulang dengan teknologi optical character recognition (OCR, pembaca tulisan tangan).

"Sehingga kesalahan penjumlahan dan/atau penggelembungan jumlah suara akan otomatis terdeteksi di sistem kami. Publik bisa lihat semua proses ini di kawalpemilu.org," jelasnya.

Dalam Pemilu 2024, KawalPemilu juga melakukan kerja sama data sharing dengan dua organisasi pemantau independen lainnya, yakni JagaSuara dan Jaga Pemilu, yang masing-masing juga memiliki platform berupa aplikasi dan situs web.

Kolaborasi di mana ketiga organisasi saling membagikan data formulir C.Hasil tersebut digadang-gadang bisa memperbanyak TPS yang dicakup untuk basis penghitungan suara, sekaligus mempermudah publik karena cukup mengunggah foto ke salah satu platform saja.

KawalPemilu sendiri menurut Elina merupakan inisiatif gotong royong dari banyak orang dan dibiayai sendiri. Karena bukan badan hukum atau institusi, KawalPemilu tidak mengumpulkan sumbangan.

Di ujung inisiatifnya, Elina berjanji KawalPemilu akan membuka data jumlah pemakaian biaya dan tujuan penggunaannya, berikut source code dan API yang ikut disediakan.

"Kemudian akan kami tawarkan ke publik untuk ikut urun dana," ujar Elina ketika berbicara dalam konferensi pers pengumuman kerja sama KawalPemilu, JagaSuara, dan Jaga Pemilu di Jakarta, Selasa (13/2/2024).

"Tahun 2019 itu sudah kami lakukan. Kemungkinan tahun ini yang akan terjadi begitu lagi," pungkasnya.

https://tekno.kompas.com/read/2024/02/14/08050067/alasan-kawalpemilu-masih-berbasis-web-bukan-aplikasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke