Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

WhatsApp Dituduh Bocorkan Informasi Warga Palestina ke Israel, Ini Faktanya

Hal ini bermula dari laporan yang menyebut bahwa Israel mengandalkan sistem berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bernama "Lavender" untuk menargetkan orang di Jalur Gaza.

Salah satu input/parameter yang dipakai oleh AI Lavender milik militer Israel itu adalah, apakah orang itu berada di grup WhatsApp yang sama dengan orang-orang Hamas, kelompok perlawanan dari Palestina.

Dalam blog-nya, software engineer dan blogger Paul Biggar pun mempertanyakan, "dari mana mereka (pihak Israel) mendapatkan data ini (pengguna yang satu grup WA dengan terduga Hamas)?" dan "Apakah WhatsApp membagikannya?".

Paul Biggar berpendapat bahwa kedekatan antara beberapa petinggi Meta (induk WhatsApp) dengan Israel menjadi alasan militer Israel bisa mendapatkan informasi tersebut dari WhatsApp.

Padahal, selama ini Meta (induk WhatsApp) mempromosikan WhatsApp sebagai jejaring sosial "pribadi", termasuk memiliki fitur keamanan enkripsi pesan "end-to-end".

Lantas, benarkah WhatsApp membagikan data penggunanya?

Kata WhatsApp

WhatsApp pun angkat bicara soal masalah ini. Juru bicara WhatsApp mempertanyakan keakuratan laporan soal WhatsApp membagikan data pengguna Palestina ke Israel.

"WhatsApp tidak memiliki backdoor dan kami tidak memberikan informasi massal kepada pemerintah mana pun," kata juru bicara WhatsApp, dihimpun KompasTekno dari Middle East Monitor, Rabu (24/4/2024).

Backdoor atau "pintu belakang" adalah metode yang memungkinkan suatu pihak  mendapatkan akses secara tidak sah ke dalam sistem atau jaringan. Backdoor dapat disisipkan pada perangkat lunak atau sistem komputer untuk memberikan akses yang tidak sah kepada pihak yang memasangnya.

Dengan kata lain, WhatsApp membantah bahwa pihak luar (dalam hal ini militer Israel) bisa mengakses data pengguna lewat backdoor, dan tidak pula memberikan informasi penggunanya secara massal ke pemerintah mana pun, termasuk Israel.

Meta menegaskan bahwa pihaknya memberikan laporan transparansi yang konsisten selama lebih dari satu dekade. Laporan tersebut mencakup keadaan tidak umum ketika ada suatu pihak (biasanya pemerintah) meminta informasi WhatsApp. Laporan transparansi selanjutnya akan hadir bulan depan.

"Prinsip kami tegas – kami meninjau, memvalidasi, dan menanggapi permintaan penegakan hukum dengan cermat berdasarkan hukum yang berlaku dan konsisten dengan standar yang diakui secara internasional, termasuk hak asasi manusia," kata juru bicara WhatsApp.

Juru bicara WhatsApp menambahkan, WhatsApp setuju bahwa privasi lebih dari sekedar enkripsi end-to-end.

Itulah sebabnya, WhatsApp mengaku terus bekerja keras untuk melindungi informasi terbatas yang tersedia bagi pihaknya. WhatsApp juga akan terus membangun lebih banyak fitur untuk melindungi informasi orang-orang.

Sistem yang dinamai "Lavender" disebut dikembangkan setelah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023. Publikasi +972 Magazine dan Local Call mewawancarai beberapa permira intelijen Israel anonim untuk mengetahui lebih lanjut soal Lavender.

Untuk membangun sistem Lavender, informasi mengenai anggota Hamas dan Jihad Islam Palestina dimasukkan dalam dataset.

Namun, menurut salah satu sumber yang bekerja dengan tim ilmu data yang melatih Lavender, militer Israel menggunakan istilah "operatif Hamas" secara longgar. Alhasil, warga sipil bisa masuk daftar ini, misalnya, orang-orang yang merupakan pekerja pertahanan sipil.

Lavender dilatih untuk mengidentifikasi beberapa ciri yang terkait dengan operasi Hamas, termasuk berada di grup WhatsApp dengan seorang yang teridentifikasi sebagai anggota Hamas, berganti ponsel setiap beberapa bulan, atau sering berpindah alamat.

Data tersebut digunakan untuk profiling (pencatatan dan pemetaan). Kemudian digunakan untuk menentukan peringkat warga Palestina lainnya di Gaza pada skala 1–100 berdasarkan seberapa mirip mereka dengan ciri-ciri agen Hamas yang diketahui dalam kumpulan data awal.

Orang-orang yang mencapai ambang batas tertentu kemudian ditandai sebagai target serangan. Seorang sumber menjelaskan, ketika ambang batas peringkat Lavender diturunkan, maka akan lebih banyak orang yang menjadi target serangan.

“Pada puncaknya, sistem Lavender menghasilkan 37.000 orang yang berpotensi menjadi sasaran manusia,” kata sumber, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari laman 972mag.

“Tetapi jumlahnya selalu berubah, karena hal ini bergantung pada di mana Anda menentukan standar operasi Hamas. Ada kalanya agen Hamas didefinisikan secara lebih luas, kemudian mesin tersebut mulai menambahkan orang-orang dari kalangan personel pertahanan sipil, petugas polisi, dll," lanjut sumber tersebut.

Sistem tersebut memiliki tingkat akurasi 90 persen, kata sumber tersebut. Artinya, sekitar 10 persen orang yang diidentifikasi sebagai agen Hamas sama sekali bukan anggota sayap militer Hamas.

Beberapa orang yang ditandai oleh Lavender sebagai target serangan kebetulan mempunyai nama atau nama panggilan yang mirip dengan nama anggota Hamas. Orang lain yang ditandai Levender adalah kerabat anggota Hamas atau orang-orang yang menggunakan ponsel yang dulunya milik anggota Hamas.

Petugas intelijen Israel dilaporkan diberi keleluasaan luas ketika menyangkut korban sipil, kata sumber kepada +972.

Selama beberapa minggu pertama perang, petugas diizinkan membunuh hingga 15 atau 20 warga sipil untuk setiap operasi Hamas tingkat rendah yang menjadi sasaran Lavender. Namun, untuk target seperti pejabat senior Hamas, militer Israel disebut mengizinkan “ratusan” korban sipil, klaim laporan tersebut.

Militer Israel membantah adanya daftar pembunuhan tersebut dalam sebuah pernyataan kepada +972 dan Local Call.

Seorang juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) mengatakan kepada CNN bahwa AI tidak digunakan untuk mengidentifikasi tersangka teroris tetapi tidak membantah keberadaan sistem Lavender.

Juru bicara tersebut menggambarkan Lavender sebagai “hanya alat bagi analis dalam proses identifikasi target.”

Analis “harus melakukan pemeriksaan independen, di mana mereka memverifikasi bahwa target yang diidentifikasi memenuhi definisi yang relevan sesuai dengan hukum internasional dan batasan tambahan yang ditetapkan dalam arahan IDF,” kata juru bicara tersebut kepada CNN.

Sistem tersebut menempatkan target yang dihasilkan oleh AI Lavender di bawah pengawasan berkelanjutan, melacak mereka hingga mereka mencapai rumah. Pada saat di rumah itulah, mereka akan dibom, sering kali bersama seluruh keluarga mereka, kata para petugas.

Namun, kadang-kadang, petugas mengebom rumah-rumah tanpa memverifikasi bahwa sasarannya ada di dalam, sehingga mengorbankan banyak warga sipil dalam proses tersebut.

"Saya sering kali menyerang sebuah rumah, tapi orangnya bahkan tidak ada di rumah,” kata salah satu sumber kepada +972.

“Hasilnya adalah Anda membunuh sebuah keluarga tanpa alasan,” lanjut sumber anonim tersebut.

Sejak serangan darat Israel di Gaza dimulai, militer Israel mengandalkan dan mengembangkan sejumlah teknologi untuk mengidentifikasi dan menargetkan anggota Hamas.

Pada bulan Maret lalu, The New York Times melaporkan bahwa Israel mengerahkan program pengenalan wajah secara massal di Jalur Gaza. Ini digunakan untuk membuat database warga Palestina tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka. Kemudian data ini digunakan militer Israel untuk mengidentifikasi agen Hamas.

Contohnya, alat pengenalan wajah mengidentifikasi penyair Palestina Mosab Abu Toha sebagai agen Hamas. Abu Toha ditahan selama dua hari di penjara Israel, di mana dia dipukuli dan diinterogasi sebelum dikembalikan ke Gaza.

Militer Israel juga menggunakan sistem bernama “The Gospel,” digunakan untuk menandai bangunan atau markas tempat Hamas diyakini beroperasi. Menurut laporan +972 dan Local Call, The Gospel berkontribusi terhadap sejumlah besar korban sipil sejak bulan November lalu.

Mona Shtaya, peneliti non-residen di Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah, mengatakan bahwa sistem Lavender adalah perpanjangan dari penggunaan teknologi pengawasan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Shtaya, yang berbasis di Tepi Barat, mengatakan kepada The Verge bahwa alat-alat ini sangat meresahkan. Menurut dia, masa perang tidak digunakan untuk membenarkan pengawasan massal dan pembunuhan massal terhadap orang-orang.

“Kita perlu memastikan bahwa masa perang tidak digunakan untuk membenarkan pengawasan massal dan pembunuhan massal terhadap orang-orang, terutama warga sipil, di tempat-tempat seperti Gaza,” kata Shtaya, sebagaimana dihimpun dari The Verge.

Penggunaan AI oleh militer Israel ini pun memantik perlu adanya seruan untuk moratorium penggunaan AI dalam perang,

Perang di Gaza masih berlanjut selama lebih dari enam bulan. Per awal April, setidaknya 33.037 warga Palestina telah tewas dan 75.668 luka-luka dalam serangan Israel sejak 7 Oktober. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

https://tekno.kompas.com/read/2024/04/24/14000077/whatsapp-dituduh-bocorkan-informasi-warga-palestina-ke-israel-ini-faktanya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke