Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kedaulatan Digital, "Sovereign AI", dan Yurisdiksi Negara (Bagian II-Habis)

Secara realistas karakter jaringan internet yang melampaui lintas batas negara telah menjadi persoalan yurisdiksi dan kedaulatan negara pada umumnya.

Baca artikel sebelumnya: Kedaulatan Digital, Sovereign AI, dan Yurisdiksi Negara (Bagian I)

Lalu, apa yang dimaksud dengan yurisdiksi?

Pendapat Cedric Ryngaert, professor hukum internasional dari Utrecht University, dalam artikel berjudul “The Concept of Jurisdiction in International Law” dapat kita jadikan rujukan.

Profesor Cedric menyatakan, dalam hukum publik internasional, konsep yurisdiksi secara tradisional mempunyai kaitan yang kuat dengan kedaulatan negara.

Yurisdiksi memungkinkan negara untuk melaksanakan kedaulatannya secara independen dalam kesetaraan global.

Intinya, hukum yurisdiksi membatasi kompetensi antarnegara dan berfungsi sebagai dasar 'peraturan lalu lintas' dalam tatanan hukum internasional.

Terkait kedaulatan digital, kita dapat melakukan komparasi. Praktik negara-negara lain menjadi penting untuk dikaji, mengingat berbagai regulasi dan kebijakan, selain untuk melindungi negara, melahirkan para pengembang AI, juga strategi kompetisi.

Dampak teknologi baru terhadap kedaulatan negara terkait jaringan internet dikemukakan antara lain oleh Profesor Andrew Keane Woods.

Ia menyatakan, cita-cita mengenai internet yang benar-benar tanpa batas negara, pada dasarnya bertentangan dengan batas wilayah (Andrew Keane Woods, Oxford Academic 2023).

Guru Besar Hukum dan Director of the TechLaw Program at the University of Arizona College of Law itu lebih lanjut berharap negara menganggap serius apa pun yang terkait dengan operasi lintas batas negara.

Ia berharap negara-negara berusaha menegaskan otoritas yang lebih besar atas jaringan digital yang melintasi perbatasan mereka dan memengaruhi kepentingan mereka.

Menurut Woods, gagasan tentang internet global, world-wide-web, merupakan struktur teknis dan cita-cita politik.

Bagian teknisnya adalah jaringan fiber yang menjangkau lintas batas negara, di mana terdapat router yang diatur, memungkinkan informasi mengalir dengan bebas masuk dan keluar negara.

Hal menarik yang dikemukakan pakar cyberlaw ini adalah, keterbukaan jaringan digital terhadap dunia luar bukanlah keniscayaan dengan menunjuk pengalaman Tiongkok.

Ia juga menegaskan, hal tersebut juga tidak diperlukan bagi ekosistem digital dalam negeri yang kaya dan penuh kewirausahaan.

Namun demikian, hasil riset Profesor Woods menunjukkan saat ini sebagian besar negara di dunia telah mengadopsi struktur teknis keterbukaan jaringan. Hal ini tak lain karena pada awalnya, mereka mengadopsi cita-cita politik mengenai internet yang relatif tanpa batas.

Namun demikian, Woods mengatakan bahwa hal ini sudah mulai berubah. Dengan semakin banyaknya negara yang mengambil langkah-langkah untuk mengambil sikap seperti Tiongkok dan memberlakukan lebih banyak batasan dalam internet.

Pada prinsipnya internet di suatu negara harus berperilaku sesuai dengan kebiasaan dan peraturan setempat dan harus sejalan dengan kedaulatan setempat. Negara-negara tampaknya akan semakin menegaskan otoritasnya atas jaringan digital.

Berbeda dengan sebagian pemikir pragmatis yang mengedepankan kebebasan lintas batas, Profesor Woods justru berpendapat bahwa otoritas negara yang lebih besar atas internet tidak bisa dihindari dan diperlukan.

Terkait dengan perkembangan spektakuler AI, ia mengatakan, apakah kebangkitan kecerdasan buatan memang mengubah atau seharusnya mengubah kekuasaan negara atas jaringan digital.

Kita menyaksikan realitas bahwa revolusi digital telah sangat memengaruhi lalu lintas barang dan jasa dalam arti fisik dan nonfisik. Lalu lintas transaksi virtual harus diakui sudah sangat masif dan berlangsung tanpa kenal batas teritorial.

Kedaulatan digital juga berdampak terhadap ekosistem dan perilaku sosial individu yang berada di wilayah negara berbeda.

Sebagai contoh, media sosial telah memengaruhi perilaku anak muda Jepang. Karakter mereka yang relatif minim kriminal, disiplin tinggi, dan sangat menjunjung tinggi sportivitas, tiba-tiba dapat melakukan tindakan kriminal yang dikendalikan pelaku yang berada di negara lain (Japan Times, 20/2/2023).

Isu kedaulatan

Dalam kaitannya dengan paradigma kedaulatan digital, sovereign AI, yurisdiksi dan kedaulatan negara, maka kita bisa melihat praktik dan regulasi di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa.

Hal ini menarik ditelaah karena mereka memiliki visi kedaulatan digital dan AI yang masing-masing berbeda, tetapi paling terdokumentasi dengan baik.

Amerika Serikat awalnya secara ketat menerapkan kebijakan non-regulasi dan non-intervensi di pasar digital. Hal ini tak terlepas dari perusahaan-perusahaan teknologi Amerika. Dominasi big tech tampak begitu kentara.

Namun demikian seiring waktu, saat ini di AS terjadi perubahan signifikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa AS saat ini terlihat jauh lebih mirip dengan Tiongkok 20 tahun yang lalu. Terjadi pergeseran kebijakan.

Pendekatan yang semula non-regulasi bergerak ke pandangan bahwa jika tidak diatur, internet akan berdampak membahayakan stabilitas, keselamatan, dan mengancam demokrasi Amerika. Hal ini juga termasuk sikap terhadap prinsip safe harbour yang tak lagi absolut.

Sementara itu, negara seperti Tiongkok dan Uni Eropa, saat ini justru telah mengatur berbagai hal termasuk pelindungan data dan AI dalam Undang-undang. Hal ini menunjukkan peran sentral negara dalam menghadapi fenomena transformasi digital yang amat masif.

Uni Eropa telah membuat UU yang kemudian banyak dijadikan rujukan internasional, seperti General Data Protection Regulation (GDPR), dan EU AI Act. Dua UU yang terkait dengan kedaulatan negara di ruang digital.

https://tekno.kompas.com/read/2024/05/16/11141467/kedaulatan-digital-sovereign-ai-dan-yurisdiksi-negara-bagian-ii-habis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke