Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Imbangkan Beban Operator Seluler dan Starlink

Penggunaan teknologi kawak yang menggunakan kabel di industri ini masih juga digunakan meski berubah dari kabel tembaga menjadi serat optik (FO – fibre optic) yang lebih hemat, efisien, berkapasitas besar dan murah.

Teknologi satelit orbit rendah (LEO – low orbit satellite) dirasakan mendisrupsi (melibas) sama sekali teknologi seluler yang sudah muncul pada 1981, operator mencemaskan masa depan mereka.

Saat ini LEO belum menusuk masuk ke seluler, karena harus menggunakan perangkat lain, semisal VSAT (very small aperture terminal), karena antena ponsel terlalu lemah untuk mengunduh informasi satelit.

Tidak sampai satu triwulan lagi teknologi direct to cell bisa membuat LEO yang beredar di ketinggian 500 km di atas permukaan bumi, berkomunikasi langsung ke ponsel, konon akan membuat seluler klepek-klepek.

Tidak ada satu kawasan pun yang akan terlewati dari jangkauan satelit LEO dengan kapasitas unduh yang sangat besar, hingga 300 mbps, kecuali dalam ruangan (indoor), sementara musuhnya hanya satu, cuaca, dan mungkin tarif yang relatif mahal.

Serangan satelit LEO – saat ini baru Starlink – sangatlah masif. Kemampuan seluler hanya terbatas sampai cakupan BTS (base transceiver station) mereka, tidak bisa masuk sampai kawasan yang kepadatan penduduknya rendah atau kosong, akibat keberadaan BTS sangat tergantung pada hitung-hitungan ekonomi.

Tidak hanya seluler yang keluar keringat dingin, Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) Kementerian Kominfo yang baru saja meluncurkan dan menempatkan satelitnya, Satria-1 di ketinggian 36.000 km dari muka bumi, juga cemas.

Satelit GEO (geostationer earth orbit) ini bertugas menghubungkan (rencana semula) 150.000 titik daerah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) yang belum terjangkau fasilitas telekomunikasi.

Tugas Satria-1 mudah dan murah tergantikan satelit LEO ketika direct to cell sudah bisa dijalankan, sehingga investasi Rp 7,8 triliun itu terasa sia-sia, pengadaan satelit pendukungnya, HBS (hot backup satellite) langsung dicoret, padahal sudah mulai dibangun pabriknya.

Kalau saja teknologi telekomunikasi satelit LEO ada sejak 10 tahun lalu, pemerintah – Bakti – tidak akan mengadakan satelit Satria-1, bahkan tak perlu ada institusi namanya Bakti yang menjalankan kebijakan USO (universal service obligation – kewajiban pelayanan umum yang sama).

Layanan milik triliuner Elon Musk itu medisrupsi ketat bisnis operator seluler, membuat mereka cemas, apalagi imbauan operator agar Starlink diperlakukan sama belum dihiraukan.

Namun sebenarnya pukulan keras mendasar lainnya sudah dirasakan operator sejak lama. Antara lain soal pungutan pemerintah (regulatory charge) yang dirasakan sangat tinggi, sekitar 13 persen.

Padahal rata-rata industri telko dunia umumnya hanya 7-8 persen, dan menurut kalangan industri telko, di atas 10 persen sudah masuk tinggi.

Dari empat operator, Smartfren paling menderita hingga sebesar 14 persen, XL Axiata dan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) sekitar 12 persen dan Telkomsel terendah, 9 persen.

BHP Starlink

Pungutan yang masuk sebagai PNBP (penerimaan negara bukan pajak) bagi Kominfo setahunnya sekitar Rp 30 triliun dari BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi dan hasil lelang spektrum frekuensi.

Dalam waktu dekat pemerintah akan melelang spektrum frekuensi selebar 377,5 MHz, yang sekitar 90 MHz ada di rentang 700 MHz, 2,6 GHz selebar 190 Mhz, lalu 3,3 GHz selebar 87,5 Mhz dan spektrum 3,5 Ghz selebar 200 Mhz.

Spektrum 700 MHz baru saja kosong setelah televisi siaran lewat ASO (analog switch off) pindah ke digital, selebar 112 Mhz selain spektrum baru di 2,6 GHz, 3,3 GHz dan 3,5 GHz (medium band), selain 26 GHz yang merupakan milimeter band.

Kecemasan operator berkait soal harga spektrum, jika mengaca pada harga lelang spektrum 2,1 GHz ex-merger IOH yang selebar 10 MHz yang harganya Rp 600 miliar dan dimenangkan Telkomsel.

Harga bukan mentok di angka itu, karena Telkomsel masih harus membayar biaya awal (upfront fee) dua kali jumlah itu. Mampukah operator menyiapkan dana untuk menebus 377,5 MHz itu untuk mengoperasikan 5G yang sekarang ini baru “ada dan tiada”.

Sebenarnya operator sudah merilis 5G menggunakan spektrum 4G dengan teknologi DSS (dynamic spectrum sharing), sehingga yang muncul “layanan 5G rasa 4G” dan tidak bisa diterapkan di semua kawasan karena akan mengganggu layanan 4G yang eksis.

Padahal GSM 5G adalah keniscayaan, yang teknologinya membutuhkan lebar pita (bandwidth) sedikitnya 100 MHz per operator, sementara prasarana 6G adalah satelit.

Dari sisi pendapatan tahun 2023, Telkomsel dapat Rp 102,37 triliun dengan laba Rp 24,6 triliun, IOH Rp 51,2 triliun laba Rp 4,5 triliun, XL Axiata raih Rp 32,34 triliun labanya Rp 1,26 triliun.

Smartfren mendapat Rp 11,65 triliun ruginya Rp 108,2 miliar, jumlahnya Rp 197,56 trilun.

Dari jumlah itu harus setor regulatory charge yang jadi PNBP sebesar Rp 30 triliun atau sekitar 15 persennya, belum lagi berbagai pajak yang wajib disetor.

Operator meminta pengurangan regulatory charge yang “tidak wajar” itu, tetapi belum juga digubris pemerintah.

Kementerian Keuangan menganggap angka Rp 30 triliun cukup bermakna untuk APBN RI dan secara naluriah sensitif kalau ada permintaan pengurangan terhadap pendapatannya.

Di sisi lain beban BHP Starlink jauh lebih kecil dibanding seluler. BHP frekuensi seluler dihitung dari berapa banyak spektrum dan BTS yang digunakan.

Misalnya, Telkomsel mengelola spektrum frekuensi selebar 165 MHz dengan 257.349 BTS, IOH punya 135 Mhz dengan 179.070 BTS, XL Axiata punya 152 MHz dan 160.124 BTS, dan Smartfren punya 62MHz dan 43.000 BTS, jumlah PNBP mereka Rp 30 triliun.

Satelit LEO karena hanya mengoperasikan satu rentang spektrum frekuensi untuk seluruh satelitnya, PNBP-nya otomatis sangat murah, walaupun 6.500 satelitnya di angkasa yang segera akan menjadi 36.000.

Investasi Starlink di Indonesia pun hanya Rp 30 miliar dengan kantor yang hanya diisi empat orang.

https://tekno.kompas.com/read/2024/06/19/11552767/imbangkan-beban-operator-seluler-dan-starlink

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke