Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
GOA PRASEJARAH

Jejak Purba Layang-layang Muna

Kompas.com - 18/06/2011, 13:06 WIB

Berbahan daun

Terlepas dari semua teka teki itu, tradisi bermain layang-layang (yang dalam bahasa setempat disebut kagati) masih berlangsung sampai kini di Muna. Keunikan layang-layang dari Muna ini juga memikat penggemar layangan dari seluruh dunia. Berbeda dengan layang-layang daerah lain yang terbuat dari kertas dan kain, layang-layang Muna terbuat dari daun.

Lihat saja bagaimana La Sima (42), warga Desa Waraa, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, mengambil lembar demi lembar daun kolope yang telah kering kemudian memotong ujung- ujungnya dengan pisaunya yang tajam. Satu per satu daun tadi ia ”jahit” dengan lidi pada kerangka layangan yang terbuat dari kulit waru. Setelah itu, La Sima menjalin serat nanas hutan untuk dibuat tali layangan.

Layang-layang setinggi 1,9 meter dengan lebar 1 meter itu siap diterbangkan La Sima pada bulan Juni-September ini. Pada periode waktu itulah angin timur bertiup kencang sehingga mampu menerbangkan layang- layang selama tujuh hari tanpa pernah diturunkan. Bila selama tujuh hari layang-layang yang diterbangkan tidak jatuh, si pemilik layang-layang akan menggelar acara syukuran. Kini hanya segelintir orang yang bisa membuat layang-layang daun seperti La Sima.

Lukisan goa-goa di Liang Kabori menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mengenal budaya bercocok tanam. La Hada, penjaga goa-goa prasejarah di Liang Kabori, menuturkan, menurut cerita nenek moyang yang disampaikan turun temurun mengatakan, layang-layang adalah permainan para petani pada masa itu. ”Mereka menjaga kebun sambil bermain layang-layang,” kata La Hada.

Oleh nenek moyang orang Muna, layang-layang digunakan sebagai alat untuk mengusir hewan perusak ladang dan kebun mereka. Pada layang-layang tadi dikaitkan sebuah alat dari kayu yang bisa berbunyi nyaring bila tertiup angin. ”Suara nyaring itu untuk menakut-nakuti hewan,” kata La Sima.

Tradisi daerah lain

Indonesia sebagai negara agraris memiliki sejarah layang-layang yang panjang. Selain berfungsi sebagai alat untuk membantu budidaya pertanian, layang-layang juga dipakai sebagai alat bantu memancing seperti ditemukan di Jawa Barat dan Lampung. Di daerah Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, layang- layang dipasangi jerat untuk menangkap kelelawar.

Selain fungsi tadi, masyarakat yang masih memegang teguh tradisi percaya bahwa layang-layang memiliki makna magis religius. Masyarakat Muna, misalnya, percaya bahwa layang-layang berfungsi sebagai ”payung” yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan matahari bila ia meninggal dunia. Ketika si pemilik ini meninggal, ia ”berpulang” dengan berpegangan tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang.

Di Bali, masyarakat mengenal layang-layang untuk melindungi singgasana para dewa. Sementara di Sumatera Barat, masyarakat masih percaya bahwa adanya layang-layang bertuah yang bisa memikat gadis.

Apa pun yang dipercayai masyarakat, layang-layang merupakan simbol kearifan lokal. Penggunaan layang-layang untuk mengusir hama dan untuk memancing, misalnya, menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan teknologi ramah lingkungan yang tidak merusak alam sekitar. Ketika teknologi merambah kehidupan sampai ke desa-desa, kearifan itu mulai dilupakan. (Mohamad Final Daeng)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com