Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wawancara

Serkan Toto Bicara Bisnis Digital di Indonesia

Kompas.com - 22/10/2011, 11:35 WIB

Jakarta, KOMPAS.com - Industri digital di Indonesia berkembang begitu pesat. Beberapa hal sering digunakan untuk menggambarkannya, bahwa Indonesia merupakan negara kedua terbesar pengguna Facebook dan lima besar dunia untuk penggunaan Twitter.

Satu hal yang juga bisa menjadi penanda pesatnya perkembangan digital di Indonesia adalah mulai berkembangnya industri game, mobile, dan web. Pebisnis teknologi mula, lazim disebut startup, bermunculan dan kini semakin banyak.

Ada beberapa fenomena tentang industri digital di Indonesia saat ini. Salah satunya ialah masih banyaknya produk bisnis digital yang merupakan clone, adopsi dari konsep yang sudah ada di tempat lain. Ini menjadi sorotan karena bisnis digital sebagai salah satu industri kreatif, seharusnya mampu menunjukkan ide dan inovasi baru, bukan hanya sekadar meniru.

Fenomena lain adalah tren industrinya tertuju pada social, ecommerce, dan mobile, dimana dapat dilihat bahwa banyak startup pun ramai-ramai menggarapnya. Wujudnya, ada beragam situs jejaring social, dailydeals, dan sebagainya, yang satu sama lain bisa jadi mirip-mirip.

Dalam kesempatan SparxUp Award 2011, Kompas.com berbincang dengan Serkan Toto, konsultan bisnis web, social dan gaming di Jepang yang juga merupakan koresponden TechCrunch. Kami menanyakan tentang pendapatnya mengenai bisnis digital di Indonesia dan bagaimana mengembangkannya. Kami juga berbincang soal clone? Lalu soal masih adakah area baru dalam bisnis digital yang patut dikembangkan? Bagaimana pula harusnya pemerintah berperan? Berikut petikan wawancaranya :

KOMPAS.com: Bagaimana Anda melihat perkembangan bisnis digital di Asia, terutama di Asia Tenggara dan Indonesia?

Serkan Toto: Kalau saya melihat perkembangan dengan bisnis digital di Eropa atau Amerika dan juga melihat negara lain seperti Jepang yang sangat advanced dalam mobile, saya pikir Indonesia masih punya banyak potensi untuk tumbuh, masih banyak ruang untuk pengembangan. Jadi, industri digital di Indonesia sampai saat ini, kalau saya melihat sebagai outsider, saya bukan seorang ahli tapi sebagai orang luar yang melihat market daripada orang Indonesia sendiri, saya masih melihat gap yang besar. Saya pikir industri digital di Indonesia masih sangat muda dan masih banyak hal yang harus dilakukan.

KOMPAS.com: Apa yang membedakan Indonesia dengan negara yang sudah maju, misalnya dalam hal produk yang dihasilkan?

Serkan Toto: Saya kira sekarang Amerika Serikat adalah yang paling memimpin. Kalau Anda melihat industri digital sebagai web, mobile, dan gaming, misalnya, pada semua area ini, saya kiran negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia belum memainkan peran besar di pasar global. Ada beberapa industri game yang bagus di Jakarta. Banyak juga industri web yang bagus di Jakarta. Tapi itu bukan pertanyaan utamanya. Memang ada banyak orang pintar di sini. Tetapi saya pikir masalahnya adalah ekosistem yang masih sangat muda, masih kurang berkembang. Jadi saya pikir masih butuh waktu. Jadi soal produk, untuk menjawab pertanyaan yang diajukan, kualitas produk lebih tinggi di negara maju, terutama Amerika Serikat. Bahkan ada gap besar antara Eropa dan Amerika Serikat. Mereka dengan Silicon Valley, masih jauh memimpin. Kalau dibandingkan dengan Asia, mereka pasti juga masih di depan. Mungkin negara yang paling mendekati, terutama dalam mobile dan gaming, kalau di Asia adalah Jepang.

KOMPAS.com: Anda telah melihat beberapa produk dari para startup yang menjadi finalis kompetisi ini. Bagaimana pendapat Anda?

Serkan Toto: Ada beragam beberapa startup inovatif. Saya lihat website yang terkait dengan travelling, Bistip, ini menarik karena idenya cukup unik. Tetapi yang saya belum lihat dari tempat seperti Indonesia adalah adanya industri yang punya deep technology di dalamnya. Salah satu contohnya, industri seperti Drop Box, ini sangat berkaitan erat dengan teknologi. Jadi para startup di Indonesia dan juga di Asia Tenggara, mereka sangat fokus pada social, gaming, dan pada hal-hal yang sederhana, dimana user interface itu penting, tetapi belum ada deep technology. Dalam hal ini juga, seperti yang saya katakan bahwa Amerika lebih di depan daripada yang lain. Mengapa seperti itu? Apa mungkin ini hanya soal evolusi dalam bisnis digital saja? Ya, saya pikir seperti itu. Mungkin hanya soal waktu saja. Saya rasa nantinya, pada tahun 2020 misalnya, bisnis digital akan berpindah dari Silicon Valley ke Asia.

Dalam pandangan saya, tidak ada keraguan tentang itu. Untuk Indonesia, yang merupakan negara terbesar keempat di dunia secara populasi, dimana ada juga banyak talenta, saya pikir dalam 10 tahun, Indonesia akan mengejar. Tapi sekarang, Anda tidak bisa membandingkan Indonesia dengan negara lain yang lebih maju. Jadi semuanya hanya soal waktu.

KOMPAS.com: Tema kompetisi SparxUp tahun ini adalah "Innovate or Die". Apakah Anda cukup melihat adanya inovasi di sini atau masih banyak yang "meniru"?

Serkan Toto: Cukup banyak. Ya, soal clone, saya rasa tidak hanya di Indonesia, di wilayah lain bahkan Eropa, Amerika Selatan, dan Asia, banyak sekali clone. Saya bisa sebut banyak kalau saya mau. Sebenarnya tak masalah kan? Ada banyak clone yang bahkan kita lihat di Jerman, jadi clone tidak peduli dengan apakah kita Indonesia, Asia, atau Eropa. Clone adalah fenomena global.

Namun saya rasa, pada tahun-tahun mendatang, Asia akan mengejar dan akan menjadi lebih inovatif. Kalau begitu, jadi apa pentingnya menjadi inovatif? Ya, itu pertanyaan utamanya. Apa pentingnya menjadi inovatif? Saya pikir hanya menjadi inovatif, tidak akan menyelesaikan masalah. Bagi saya, sebagai konsumen, kalau saya ingin pakai mobile product, web product atau produk digital apapun, itu harus menghibur saya dan harus menyelesaikan masalah saya.

Saya secara pribadi tidak peduli apakah inovatif atau tidak, tapi selama itu menyelesaikan masalah dan menghibur, saya rasa tidak masalah. Siapa yang peduli. Saya paham konsep inovasi itu, semua orang mungkin ingin yang inovatif, saya mengerti. Orang mungkin akan mengatakan, kita punya startup paling inovatif di dunia. Namun sebenarnya mendefinisikan inovasi itu sangat sulit. Apa inovasi itu? Saya tidak tahu definisi pasti inovasi, karena memang tidak ada definisi ilmiahnya.

KOMPAS.com: Jadi clone itu tidak masalah menurut Anda?

Serkan Toto: Saya akan mengatakan, clone yang bagus itu tak masalah. Jadi kloning itu bukan hal yang buruk. Jadi ketika Anda melihat konsep yang bekerja bagus di luar sana, lalu Anda membawanya, itu mungkin bagus. Kalau Anda cuma copy paste, copy logo, desain, dan lainnya mentah-mentah, itu sangat buruk. Tetapi jika Anda menambahkan sedikit imajinasi, rasa lokal di dalamnya, sedikit inovasi, itu tak masalah. Karena ini juga sebuah inovasi, mendapat suatu ide, lalu "memelintirkan" sedikit. Tapi kalau copy paste saja, itu sesuatu yang harusnya Anda tidak lakukan. Namun semua kembali pada konsumen, kalau mereka datang pada Anda, membayar layanan Anda, maka ya baik-baik saja. Clone ini wilayah abu-abu (grey area). Tidak bisa dibilang langsung bagus atau buruk.

KOMPAS.com: Anda juga bicara tentang hyperlocalization? Apa itu dan apa pula pentingnya?

Serkan Toto: Ada banyak definisi mungkin. Tapi saya mendefinisikan bahwa hyperlocalization adalah mengambil konsep yang sudah bekerja di negara lain, membawanya ke negara Anda dan mengubahnya sedikit sehingga sesuai dengan pengguna lokal. Itu hyperlocalization. Saya rasa yang dilakukan Gantibaju.com itu adalah wujud dari hyperlocalization. Mereka mengambil konsep yang sudah ada di Amerika lalu menerapkannya di sini. Anda bisa melihat sendiri perkembangannya.

KOMPAS.com: Kalau sekarang yang menjadi tren adalah "mobile", "commerce" dan "social". Bagaimana startup bisa mengembangkan bidang tersebut?

Serkan Toto: Saya rasa kalau sekarang kita lihat di Eropa dan Amerika adalah adanya penggabungan dari tiga hal tersebut. Ada mobile commerce dan ada pula social commerce. Mobile commerce ini bisa kita lihat sangat pesat di Jepang, ini bisnis miliaran. Setiap orang menggunakan ponsel untuk memesan pakaian, makanan, dan sebagainya. Mereka berkomunikasi lewat ponsel dan juga membayar lewat ponsel. Ini belum populer di Eropa, belum populer juga di Indonesia. Tetapi saya rasa ini akan tumbuh sangat besar bila diterapkan di negara "mania mobile" seperti Indonesia. Sekali infrastrukturnya mendukung, mobile payment mendukung, ini akan menjadi masa depan yang patut digarap.

Begitu juga dengan social commerce. Apa kunci untuk mengembangkan menuju ke sana? Kunci pengembangan mobile commerce adalah mobile payment. Ini bisa dipelajari dari Jepang yang menjadi negara mobile commerce terbesar. Jadi, di sana Anda bisa membeli pakaian di toko lalu membayarnya dengan ponsel lewat mobile billing. Jadi Anda tidak perlu kartu kredit. Anda cukup menekan tombol, lalu Anda langsung bisa membayarnya. Tagihan akan dikirim lewat e-mail setiap bulan. Inilah yang membuat mobile commerce besar di Jepang, multi-miliaran market.

Ketika dukungannya sudah bagus, maka mobile commerce akan mendarat di Indonesia, tak ada keraguan. Tetapi di Jepang agak berbeda dengan di sini, dimana semuanya prepaid. Di sana pengguna punya kontrak dua tahun dengan penyedia layanan, lalu penyedia layanan akan kirim tagihan setiap bulannya. Indonesia mungkin bisa (tetap berkembang) dengan metode yang berbeda.

KOMPAS.com: Di luar tema social, commerce dan mobile, wilayah mana yang bisa dijajaki oleh para startup?

Serkan Toto: Pastinya gaming. Kalau Anda melihat ke luar Indonesia, Anda akan melihat bahwa game masih terbagi menjadi mobile gaming, console gaming, iOS, Android, dan lainnya. Tetapi di masa depan, semua itu akan menyatu. Saya pikir mobile Internet dan PC Internet akan menyerap semua console gaming. Lima hingga sepuluh tahun lagi, mungkin tidak akan lagi PlayStation karena semua perangkat ini akan terintegrasi dengan ponsel atau PC. Jadi gaming ini adalah area yang sangat bagus, terutama bagi startup Indonesia. Kalau saya menjadi startup di Indonesia, saya akan berusaha keras untuk membuat startup gaming. Ini karena game potensinya sangat besar, tidak memandang unsur kultural. Kalau Anda buat puzzle game, contohnya, Anda bisa menjual di mana pun di dunia. Anda tak perlu khawatir tentang kultur, sosial, dan agama serta yang lain. Anda tinggal jual saja. Saya rasa gaming adalah big future area.

KOMPAS.com: Apakah Anda punya saran bagi startup di Indonesia, bagaimana caranya untuk survive dalam persaingan?

Serkan Toto: Saya pikir apa yang harus dilakukan oleh startup Indonesia dalam pandangan saya adalah mereka tidak seharusnya membandingkan diri mereka dengan startup lain di Indonesia saja. Saya tidak tahu, tetapi saya mendapat kesan bahwa startup di Indonesia cenderung demikian. Jadi mereka hanya membandingkan dengan yang ada di lingkaran mereka sendiri.

Dengan cara ini, ekosistem secara keseluruhan tidak dapat berkembang. Anda tidak bisa belajar apa-apa. Karena ini hanya berputar-putar. Indonesia harus menginvestigasi bagaimana bisnis bekerja misalnya, di Amerika, Jepang, dan Eropa. Saya sempat beberapa kali berbicara dengan startup di Indonesia, mereka tidak tahu (tentang industri digital di luar Indonesia). Jadi level pengetahuan tentang ekosistem di tempat lain sangat terbatas. Ini karena setiap orang fokus pada startup di Indonesia sendiri. Ini merupakan kesalahan besar.

Ada banyak hal yang harus dipelajari, terutama dari Amerika, bagaimana model bisnis bekerja di sana. Bagaimana proses bisnis bekerja. Bagaimana membangun perusahaan, cara survive, bagaimana monetize. Startup di Indonesia bisa pergi keluar, menghabiskan waktu 2-3 minggu untuk studi banding. Atau mungkin bisa saja dengan memanfaatkan Internet. Misalnya, bagaimana harus pitching, bagaimana menyusun rencana bisnis. Jadi mungkin tidak perlu juga pergi langsung ke luar negeri.

KOMPAS.com: Bagaimana Anda melihat peran pemerintah dalam industri digital? Misalnya kalau melihat di Jepang, tempat Anda menetap?

Serkan Toto: Kalau di Jepang, pemerintah menjaga jarak dengan digital. Di Indonesia sedikit berbeda mungkin. Pemerintah tidak seharusnya mengganggu pembentukan ekosistem ini, mereka cukup mendukung saja. Ada banyak hal yang pemerintah bisa lakukan, misalnya mengenalkan para pakar teknologi untuk startup. Namun, berdasarkan yang saya dengar, pemerintah Indonesia kurang punya kemauan untuk melakukannya. Tetapi itu mungkin ada bagusnya juga. Ada satu hal, pemerintah tidak seharusnya menginvestasikan uang ke para startup. Saya melihatnya ini di Malaysia, ketika pemerintah melakukannya, ini menjadi bencana. Karena, sekali pemerintah melakukannya, mereka bekerja seperti penyakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com