Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
SENI TRADISIONAL

Ujung-ujungan, Simbol Kelemahan Manusia...

Kompas.com - 27/10/2011, 04:02 WIB

"Blarr"… cambuk rotan itu mengoyak kulit putih Suyotro (40), warga Tengger dari Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Minggu (16/10). Meski meringis menahan tetesan darah yang menyembul keluar dari bekas luka cambukan, Suyotro tetap bersemangat mengayunkan cambuk rotannya memukul Supin (45), lawannya, kala itu.

Tak jauh berbeda dengan para seniornya, Toyin (21) dan Muali (18) pun dengan girang beradu cambuk dengan sesekali diselingi gurauan. Bahkan Toyin tak sungkan-sungkan melongok bekas luka yang ditimbulkannya di tubuh Muali. Detik berikutnya, Toyin sudah melenggak-lenggok mengikuti irama gamelan yang menjadi pengiring tarian.

Aksi cambuk-mencambuk dua orang itu bukan bagian dari perkelahian atau kerusuhan. Suguhan tersebut merupakan penggalan tari ujung, tarian khas masyarakat Tengger. Tarian ujung kali itu digelar di depan rumah Kepala Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. ”Setiap tahun saya ikut ujung-ujungan ini. Meski bekas luka di tubuh setahun lalu belum hilang, tetap saja kalau tahun ini tidak ikut rasanya tidak lengkap dalam merayakan Karo,” ujar Suyotro.

Toyin, pemuda bertato naga di bagian punggunya itu, pun dengan riang menuturkan ia senang dengan tradisi ujung-ujung tersebut. ”Senang bisa ikut ujung-ujungan. Ini tradisi, maka kami turut merayakan. Bukan berarti ini kesempatan kami untuk beradu kekuatan sebagai anak muda,” katanya.

Perlambang kedamaian

Meski menggambarkan tindakan sarkasme, tari ujung justru diyakini masyarakat Tengger sebagai perlambang kedamaian. Mereka berharap dengan terus lestarinya tarian ujung, kedamaian bagi warga Tengger khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya terus terjaga.

”Pesan tari ujung ini adalah kalau tidak mau disakiti jangan menyakiti orang lain. Kalau disakiti orang lain, tentu rasanya sakit bukan?” Mujono, dukun Tengger dari Desa Ngadas, menerangkan filosofis dasar seni tradisional itu.

Meski sekilas tampak seperti pertunjukan kekerasan, tari ujung tidak boleh dilakukan dengan emosi. ”Semua dilakukan dengan penuh canda dan gurauan. Itu sebabnya tidak ada maki-memaki saat dua orang saling mencambuk. Semua tutur kata harus tetap lembut demi kedamaian dan kekompakan suku Tengger bersama,” kata Kepala Desa Ngadas Sumartono.

Cambuk-mencambuk dalam tarian ujung bagi warga Tengger bisa dimaknai sebagai dua hal. Pertama, memukul lawan diartikan hanya sebagai kiasan. Kiasan mengusir tindakan jahat yang tidak pernah lepas dari manusia. Kalau tindakan angkara murka manusia bisa disirnakan, harapannya hanya tersisa damai di muka bumi.

Kedua, pukulan diartikan secara harfiah memukul fisik tubuh lawan. Memukul orang lain bisa disimbolkan sebagai bentuk peringatan, bahwa sebaik apa pun manusia tetap memiliki salah dan kurang. Buktinya tubuh pun tetap berdarah saat terkena sabetan rotan lawan.

Itu sebabnya jangan adigung adiguna menjadi manusia. Tindakan saling pukul antara dua orang ini dianggap sebagai ”komunikasi” saling ingat-mengingatkan antara dua anak manusia.

Tidak semua orang harus saling cambuk untuk terus mengingat kekurangan sebagai manusia. Tari ujung disuguhkan untuk membantu manusia yang hidup di bumi ini mengingat-ingat kelemahan itu. Lalu, masihkah kita bisa sombong selaku manusia? (Dahlia Irawati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com