Bandung, Kompas -
”Sekarang ini banyak tumbuh para perajin angklung. Namun, mereka hanya sekadar bekerja sebagai tukang. Mereka memproduksi angklung dengan kualitas seadanya. Belum ada perajin angklung yang bisa membuat angklung dengan standar alat musik,” kata Handiman Diratmasasmita (70), produsen angklung di Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/11).
Ia menambahkan, sekarang ini angklung yang diproduksi kualitasnya sangat beragam. Padahal untuk dimainkan sebagai alat musik, perlu ada standar untuk angklung.
Pekerjaan tersulit dari proses pembuatan angklung adalah membuat tabung resonansi, yaitu bagian bambu yang berbentuk seperti tabung, kemudian menyelaraskan dan mempertajam nada. Kebanyakan perajin baru bisa sebatas menyelaraskan nada saja. Di bengkel kerjanya di kota Bandung, urusan menyelaras-
Sani Winandar, produsen angklung, juga mengaku kesulitan mendapatkan perajin yang benar-benar mengerti soal alat musik angklung. Ia berharap pemerintah turun tangan untuk mengadakan pelatihan-pelatihan bagi para perajin angklung. ”Selama ini tidak ada pembinaan terhadap para perajin angklung,” kata Sani.
Sekarang ini, perajin angklung lebih tertarik untuk membuat angklung yang hanya sekadar bisa dimainkan. Dengan begitu banyaknya pesanan, kualitas angklung tidak lagi diperhatikan.
Pembuatan angklung memerlukan proses panjang. ”Selain jenis bambu, yang harus diperhatikan adalah waktu penebangan bambu yang hanya bisa dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober,” kata Sani.
Pada rentang waktu tersebut, Indonesia sedang musim kemarau sehingga bambu yang dihasilkan lebih kering dan tidak dimakan rayap. Proses pengeringan juga membutuhkan waktu satu tahun.
”Karena sekarang ini banyak pesanan, penebangan bambu dilakukan sembarangan sehingga menurunkan kualitas suara angklung, dan angklung mudah dimakan rayap,” kata Handiman. Untuk mendapatkan bambu, perajin angklung juga berebut dengan perusahaan mebel dan perusahaan sumpit.