Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Corby dan Gaga

Kompas.com - 30/05/2012, 02:08 WIB

Tentu kita tidak mau terus-menerus terpuruk dalam jurang kenistaan, sekaligus menghindari penyelesaian oleh ”vampir kesabaran”. Namun, bersamaan dengan hal itu, jika hanya berdiam diri menyaksikan kebebalan demi kebebalan, kita pun ikut bebal. Hal paling mengerikan dari tindak kejahatan adalah ketika aura kejahatannya hilang. Pun ketika kita melihat kebebalan sebagai hal biasa.

Oleh sebab itu, di samping tindakan konkret melalui lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua hal harus terus-menerus dilakukan. Pertama, selalu mengartikulasikan kejahatan dan kebebalan agar auranya terus terbarukan. Aura kejahatan korupsi, misalnya, akan hilang jika tindakan itu terus-menerus disebut korupsi. Perlu diterakan metafora lain, seperti perampok atau garong.

Kedua, ketika negara dalam keadaan harus ditolong seperti sekarang, yang pertama mesti dilakukan adalah membantu penguasa mendudukkan kepalanya pada posisi yang sehat.

Pada kasus grasi untuk Corby, misalnya, SBY mungkin memiliki ”nalar jual beli bilateral” sehingga dengan itu grasi yang ia berikan tidak gratis: ini sebuah transaksi yang boleh jadi menguntungkan. Namun, SBY lupa—dan ini yang mesti diingatkan—bahwa di atas nalar jual beli tersebut terdapat nalar lain yang jauh lebih penting, yakni nalar moralitas dan martabat hidup berbangsa. Nalar ini memang tidak serta-merta membuahkan ”fulus”, tetapi pemilihannya adalah investasi tidak terbatas untuk jangka panjang.

Pemimpin besar pastilah akan memilih nalar ini. Sayang, SBY memilih nalar instan—yang bernafsu memanen padi petang hari atas benih yang ditanam pagi harinya—menunjukkan bahwa ia bukan pemimpin demikian.

Karakter berbangsa

Lantas Gaga. Sampai esai ini ditulis, sang Lady belum lagi tiba di sini. Namun, kita tahu efek psikologisnya telah meledak jauh-jauh hari. Mesti dipahami, kasus Gaga bukan melulu soal show artis populer. Bukan pula sekadar isu pornografi dan pertunjukan hasrat di atas panggung. Ini juga bukan cuma soal ketersinggungan agama. Ini soal karakter dan sikap mental hidup berbangsa.

Kita boleh menyusun sejuta argumen tentang budaya kontemporer, tetapi kita tetap tidak bisa mengelak bahwa identitas berbangsa itu penting dan karenanya politik identitas menjadi harus. Jadi, mula-mula soalnya bukan mengizinkan atau melarang, melainkan bagaimana sebagai bangsa—melalui ketegasan pemimpinnya—kita memiliki sikap yang jelas dan berwibawa untuk menerima atau menolak.

Berkali-kali dan oleh sejumlah pihak telah disampaikan bahwa kita butuh pemimpin yang kuat, cerdas, berwibawa, dan bebas dari kepentingan politik sesaat. Kini, lihatlah, tanpa pemimpin demikian, negara tidak lagi memiliki ideologi sehingga tidak jelas ke mana langkah mengarah. Bagaimana mau ajek berdiri jika tidak punya fondasi. Jangankan membangun karakter, ngurus bulu tangkis saja tidak mampu.

Mesti dipahami, kalahnya Taufik cs oleh Jepang pada perempat final Piala Thomas dan Uber bukan serta-merta kekalahan kompetisi olahraga bulu ayam itu, melainkan representasi dari terus-menurus terpuruknya pengelolaan kehidupan berbangsa. Ingatlah juga, bulu tangkis adalah monumen yang telah susah payah dibangun sejarah.

Potret Taufik di Kompas, 24/5, adalah tragedi. Berjalan membelakangi kamera, Taufik melambaikan tangan. Ia seperti sedang berkata, ”Selamat jalan prestasi, selamat berpisah prestise, terpuruklah negeriku!”

Lantas, ke manakah Taufik (kita) melangkah? Sepanjang tidak punya pemimpin berkualitas, kita hanya akan bersimpuh di kaki peradaban yang dibangun orang lain: macam Corby dan Gaga!

Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com