Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

kolom

Pokemon, Ketika Hidup adalah Permainan

Kompas.com - 22/07/2016, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReza Wahyudi

Langit hampir gelap sore itu ketika seorang teman saya datang dengan wajah sumringah mendekat ke meja saya di kantor. Ia membawa kabar gembira: berhasil menetaskan telur Pokemon dari game Pokemon Go.

“Ternyata harus benar-benar jalan kaki. Tadi gue jalan kaki dua putaran di GBK (Gelora Bung Karno) akhirnya netas juga,” dia bercerita dengan gembira.

“Iya, emang harus jalan kaki. Enggak bisa naik motor. Benar-benar disuruh olahraga nih sama Nintendo,” seorang teman lain menimpali.

Selama ini kawan saya itu nyaris tak pernah olahraga. Ia kini mulai menikmati jalan kaki untuk mencari pokestop guna mengambil pokeball dan beragam item untuk merawat lebih dari 100 monster kecil yang berhasil ia tangkap.

Malam itu, sepulang kantor, ia melepas “umpan” (lure) untuk mendapatkan monster-monster baru. Umpan jenis ini bisa dimanfaatkan para pemburu pokemon lain, beda dengan umpan dupa (incense) yang hanya dapat dimanfaatkan sendiri.

Saya mengikutinya berburu malam itu untuk belajar main Pokemon Go. Saya paling kuper untuk urusan per-game-an. Banyak bloon dan enggak pahamnya.

Saya pernah mengunduh permainan ini, tapi baru dapat satu monster, game-nya hang.  Saya lalu menghapus permainan itu karena khawatir terjadi apa-apa pada ponsel saya. Pada teman saya inilah saya belajar menjadi seorang pemburu monster.

Duduk di depan lobi  kantor, yang ternyata adalah lokasi pokestop, kawan saya memberi kursus kilat dan aneka tips sambil berburu Pokemon yang muncul karena umpan yang ia pasang.

Menurut kawan saya itu, kesempatan memburu Pokemon dari “alam liar” dengan lure hanya 30 menit. Jadi, kami akan duduk selama itu menunggu monster-monster kecil berdatangan.

Sekian meter dari tempat kami duduk, ada dua orang lelaki yang berdiri saling berjauhan. Mereka tampak asyik dengan ponsel mereka.

“Mas, lagi nyari Pokemon juga ya?” tegur saya.

“Iya nih, mumpung ada yang pasang umpan gratis,” jawan salah seorang dari mereka.

Mengetahui bahwa kami juga tengah berburu Pokemon, kedua lelaki itu mendekat ke kami dan terjadilah obrolan ringan seputar dunia per-pokemon-an yang terdengar asing di telinga saya. Pokemon Go membuahkan pertemanan baru.

Selain mengajari saya berburu, malam itu teman saya juga medemonstrasikan pertarungan di gym. Ia merebut sebuah gym yang letaknya ternyata persis di seberang kantor.  Kekuasaannya di gym itu tidak lama. Tak sampai dua jam, ia ditaklukkan oleh penguasa baru.

Saya baru tahu, begitulah suasana di gym Pokemon Go, penguasa datang silih berganti. Kalah dan menang hal biasa. Tak ada yang perlu diratapi kalau kalah, juga tak ada yang perlu dijumawai kalau menang. Yang penting hati senang meski kalah atau menang.

Panta rhei, kata Herakleitos si filsuf Yunani. Semuanya mengalir. Tidak ada yang tetap. Yang kekal adalah perubahan.

Saya mendapat banyak ilmu soal Pokemon Go dalam beberapa hari ini. Bukan hanya soal bagaimana memelihara monster kecil dengan benar, tapi lebih dari itu bagaimana menikmati permainannya, bukan pada hasilnya.

Saya teringat ucapan seorang teman lain dalam kesempatan yang berbeda.

“Yang asyik dari Pokemon adalah proses mainnya,” kata dia.

“Permainan ini enggak ada ujungnya. Kita enggak pernah menanti ujungnya karena intinya emang bukan di ujung, tapi pada semua proses permainannya, mulai dari mencari monster baru, dapet monster langka, ngembangin CP (combat power – kekuatan tempur si monster kecil), tarung di gym, kalah, tarung lagi, menang, kalah lagi, cari Pokemon lagi, dan seterusnya dan seterusnya. Yang seru adalah prosesnya, bukan akhirnya karena emang enggak ada akhirnya,” cerita teman saya.

Perlu mawas diri juga kalau Anda sudah mengunduh permainan ini. Jangan sampa lupa diri dan masuk ke kantor polisi.  

Omnia tempus habent. Untuk segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu main. Ada waktu kerja. Ada waktu serius. Ada waktu bersenang-senang. Kadang hidup tak perlu harus serius-serius amat.

Pula, Anda harus hati-hati jangan sampai celaka seperti lelaki di bawah ini. Bermainlah dengan bijak.

Rabbi menonton bola

Pulang dari kantor, di atas sepeda motor, menyusuri gelapnya malam, saya masih tergumun-gumun dengan orang yang menciptakan permainan ini.

Hebat betul dia, menemukan model permainan tanpa ujung yang melibatkan dunia nyata sekitar kita, menyatukan detail peta Google dan teknologi realitas tertambah (augmented reality). Hebatnya lagi, permainan ini digandrungi orang di segala kolong langit.

Kegumunan saya di atas motor berteman gerimis kecil. Rintik hujan menyapu kaca helm membentuk titik-titir air yang sesaat kemudian pecah disapu angin. Malam yang dingin membalut erat leher saya.

Sekelebat saya teringat wajah bapak asrama saya. Iya, saya pernah tinggal cukup lama di asrama.

Di atas roda yang menggelinding di atas aspal saya terkenang sebuah cerita yang pernah disampaikannya sekitar 20 tahun lalu. Saya butuh waktu bertahun-tahun untuk memahami cerita ini.

Ia pernah bercerita tentang seorang Rabbi yang menonton pertandingan sepak bola. Saat kesebelasan A melesakkan bola ke gawang kesebelasan B,  Sang Rabbi bersorak gembira. Ia melemparkan topinya sebagai ungkapan kegembiraannya.

Tak lama, kesebelasan B membalasnya. Sebuah tendangan kencang dari sudut kotak penalti menggetarkan jala gawang A. Kembali, Sang Rabbi bersorak girang. Ia berjoget meluapkan rasa senangnya.

Orang-orang yang di sekitarnya bingung melihat tingkah aneh Rabbi ini.

“Rabbi,” seorang penonton tak mampu menyembunyikan rasa herannya. “Sebenarnya, tim mana yang Anda dukung?”

Sang Rabbi tertawa. “Saya tidak mendukung salah satu pihak. Saya menikmati pertandingannya.”

Rabbi yang aneh, pikir saya saat pertama mendengar cerita itu.

Bapak asrama saya kala itu menjelaskan, cerita itu ingin mengantarkan sebuah pesan bahwa orang kerap melupakan betapa indahnya hidup ini karena terpaku pada ujung –ujung kehidupan.

Kompas.com/David Oliver Purba Minggu (16/7/2016), puluhan trainer mendatangi Monas untuk mencoba menangkap sejumlah pokemon
Sekarang di sini

Banyak orang hidup digelayuti masa lalunya atau disibukkan oleh aneka pikiran tentang masa depan dan melupakan hidup mereka saat ini di sini. Live at the present moment.

Banyak  orang bertanya apakah ada kehidupan setelah kematian, tapi lupa bertanya apakah ada kehidupan sebelum kematian. 

Banyak orang sibuk memikirkan hidupnya setelah kematian dan lupa menikmati hidupnya sebelum kematian.

Banyak orang lupa bahwa hidup adalah sebuah pesta yang harus dirayakan dengan gembira. Cinta dan welas asih adalah jamuannya.

Demi tujuan hidup, bahkan tujuan-tujuan yang sangat pendek apapun bentuknya, banyak orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan itu dan mengabaikan proses yang selayaknya dijalani dengan gembira.

Barangkali, kita memang banyak dididik dan tumbuh berkembang dalam kultur masyarakat yang memuliakan hasil dan menisbikan proses.

Di sebuah siang, di akhir pekan,  di dalam kereta commuter line saya pernah mencuri dengar percakapan seorang ibu dengan anaknya, seorang bocah lelaki yang duduk di sekolah dasar. Taksiran saya, anaknya duduk di kelas 4 atau 5.

Kepada ibunya, anaknya mengungkapkan kekhawatirannya bahwa barangkali dia tidak bisa mendapatkan nilai bagus di ujian matematika hari Senin nanti. Kata-kata Si Ibu pada anaknya membuat hati saya meleleh.

Saya tidak ingat persis kata-katanya. Tapi kira-kira yang disampaikan Ibu itu pada anaknya adalah begini:

“Kamu kenapa harus takut? Mama kan enggak pernah minta kamu mendapat nilai bagus di sekolah. Yang paling penting buat Mama kamu senang belajar, senang menyiapkan diri dengan baik kalau mau ulangan, sekolah dengan senang, punya banyak teman. Nilai di sekolah itu, berapapun angkanya, adalah hasil dari kesenanganmu belajar, bukan tujuan.”

Kata-kata Si Ibu seperti sebuah tamparan di batin saya siang itu. Hati yang gembira adalah obat segala gundah. Gembira adalah soal menghidupi hidup sekarang di sini, di dalam hati, tanpa syarat. Sekali dia bersyarat, kegembiraan itu hilang.

Life is a song - sing it.
Life is a game - play it.
Life is a challenge - meet it.
Life is a dream - realize it.
Life is a sacrifice - offer it.
Life is love - enjoy it.

-Sai Baba

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com