Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wicak Hidayat

Penulis teknologi yang saat ini terjun bebas ke dunia startup digital. Ia aktif di Code Margonda bersama komunitas lainnya di Depok. Juga berperan sebagai Tukang Jamu di sebuah usaha rintisan bernama Lab Kinetic.

kolom

Peran Kopi dalam Kehidupan Startup

Kompas.com - 25/07/2016, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorReza Wahyudi

Secangkir kopi tak lebih dari seduhan air panas terhadap bubuk yang dihasilkan dari menggerus biji sebuah tanaman perdu yang sudah dikeringkan. Meski kesannya sederhana, hasilnya bisa luar biasa.

Pertama, cita rasa dari minuman kopi. Kombinasi menakjubkan dari aroma, rasa pahit yang disusul asam dan semacam kelembutan yang sulit dijelaskan yang muncul sesudahnya.

Kedua, efek kimia dari kafein terhadap tubuh. Sudah banyak dibahas soal efek ini, dan tulisan ini bukan hendak membahas efek kopi pada tubuh. Namun intinya, kafein membantu konsentrasi dan membuat tubuh “lupa” akan lelah.

Kopi memang bukan minuman sakti mandraguna, ia juga punya efek samping. Penikmat kopi tetap harus hati-hati, terutama efeknya pada lambung. Tapi, lagi-lagi, tulisan ini bukan soal efek kopi pada tubuh.

Kembali pada secangkir kopi. Secangkir cairan pekat itu memang dibuat untuk dinikmati. Apalagi tradisi kopi tubruk di Indonesia, yang sering disebut juga dengan istilah “kopi ngobrol”, karena meminumnya butuh waktu lama.

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan dua teman. Sambil sesekali menatap pohon kenanga di halaman belakang, kami menikmati kopi dan perbincangan yang panjang. Kopinya? Apalagi kalau bukan “kopi ngobrol” itu?

Kopi tubruk memberikan waktu cukup lama bagi penikmatnya untuk berbincang. Pertama-tama  semua bubuk kopi itu harus dibiarkan dulu mengapung. Lalu, pelan-pelan bubuk itu akan jatuh ke dasar cangkir. Setelah beberapa menit, bolehlah sambil berbincang memainkan sendok di permukaan kopi, membantu perputaran bubuk dari yang mengapung jadi tenggelam.

Dalam ritual mini itu, kami berbincang panjang. Soal budaya kerja baru yang sedang bertumbuh, mengenai co-working space dan bagaimana menjalankannya agar tidak rugi melulu, mengenai kota yang sama-sama kami tempati dan bagaimana menjadikannya lebih baik lagi.

Kopi dan Bir

Dalam buku “Where Good Ideas Come From: The Natural History of Innovation”, Steven Johnson mengatakan bahwa periode pencerahan di Eropa Abad ke-18 juga dipengaruhi oleh kopi. Di masa itu, kopi menjadi minuman populer yang mulai menggantikan bir.

Bayangkan sejenak seperti apa suasananya. Dari orang-orang yang tadinya lebih sering tipsy sekarang jadi bisa melek lebih lama. Ide-ide pun bergulir dan tak terhambat akal yang dibuat lemah oleh alkohol.

Maka dari kopi itu lah perbincangan demi perbincangan hadir. Ide-ide dilemparkan, berbenturan, berbaur, mati dan hidup kembali. Termasuk (di masa sekarang, tentunya) ide-ide tentang perusahaan rintisan digital, atau lebih populer dengan istilah startup.

Kopi dan kedai kopi pun jadi sesuatu yang romantis di jamannya startup sekarang ini. (Mungkin juga itu sebabnya Google Ventures melakukan investasi pada sebuah kedai kopi?)

Romantisme kopi dan startup sebenarnya mirip dengan romantisme garasi dan Silicon Valley. Ide-ide bisnis hebat konon banyak yang diawali dari coret-coret di atas serbet kertas sebuah kedai kopi. Sebagaimana perusahaan rintisan hebat konon banyak yang berawal dari garasi.

Kedua hal itu belum tentu benar. Ide bisa datang di mana saja (termasuk jamban) dan perusahaan boleh dimulai dari mana pun (bahkan dari kubikel yang menjemukan).

Namun gagasan akan kedai kopi dan garasi itu adalah simbol yang mewakili sesuatu. Kedai kopi menjadi simbol dari kenyataan bahwa ide yang hebat bisa lahir ketika ia berani dibentur-benturkan dengan ide lain, bukan hanya diperam sendirian. Garasi menjadi simbol dari kenyataan bahwa memulai suatu usaha itu tidak perlu menunggu hujan uang atau suntikan dana investor.

Kopi dan Mie Instan

Ada satu tradisi lagi soal kopi yang hidup di Indonesia. Mahasiswa dan pos ronda paham benar akan tradisi ini: minum kopi di malam hari untuk menghindari kantuk saat begadang.

Meski tak baik untuk kesehatan, diam-diam mungkin kita memuji kebiasaan begadang tersebut. Mereka yang rela begadang demi menyelesaikan pekerjaan tertentu mendapatkan pujian, atau setidaknya dianggap sedang melakukan sesuatu yang heroik.

Shawn Acor dan Michele Gilean di Harvard Business Review menuliskan betapa ini jadi salah paham yang berbahaya. Ketangguhan diri (resilience), menurut Acor, lahir bukan dari melakukan sesuatu untuk waktu yang lebih lama (endurance) tapi dari pemulihan (recovery).

Acor mengatakan, kita sering salah paham dan memandang ketangguhan diri secara militeristik. Semakin kita ngotot, semakin kuat diri kita, semakin sukses juga kita nantinya. Padahal, sebuah riset yang dikutip oleh Acor mengatakan hal itu tidak akurat.

Tak adanya periode pemulihan telah menghambat ketangguhan diri kita. Kunci dari ketangguhan diri, tulis Acor, adalah mencoba dengan sungguh-sungguh, berhenti, pulihkan diri, lalu coba lagi. Istirahat, dengan kata lain, tidak sama dengan menyerah.

Ngomong-ngomong soal tradisi begadang, satu lagi benda yang kerap dikonsumsi saat begadang adalah mie instan. Masalahnya bukan semata-mata pada makanan itu, tapi pada pola pikir kita akan makanan itu.

Mie instan adalah makanan yang dibikinnya cepat, rasanya enak (sungguh, sungguh enak) dan bisa mengenyangkan. Tapi, seperti kerap dilontarkan dalam candaan: cepat kenyang, cepat lapar juga.

Ya, pemahaman sesat yang kedua adalah soal kenikmatan instan. Kita sering terjebak pada pemikiran bahwa tercapainya sesuatu dengan cepat adalah hal yang harus dipuji. Padahal, seperti sering saya alami sendiri, ketika ingin cepat kita sering terjebak pada terburu-buru. Ketika sudah terburu-buru, kita pun jadi tidak teliti dan pekerjaan yang dilakukan jadi tidak optimal.

Kopi yang Pelan dan Nikmat

Pada suatu hari Minggu, saya menyeduh kopi. Secangkir kopi yang diseduh dari biji terpilih asal Timor-Timur, negara kecil yang dulu pernah jadi bagian dari Indonesia.

Sambil menikmatinya saya teringat banyak hal. Tentang teman saya yang rela membelikan biji kopi itu sebagai hadiah, sudahkah saya mengucapkan terima kasih? Tentang upaya saya merintis usaha dan betapa saya kadang masih gamang akan apa yang akan terjadi nanti. Tentang tanaman-tanaman liar yang tumbuh di halaman, pelan-pelan mengambil alih pemandangan yang rapih.

Lalu, pelan-pelan saya mencoba untuk tidak mengingat apapun. Hanya menikmati momen itu, sebuah kopi yang lezat, udara pagi dan waktu untuk bernafas. Inilah kopi yang pelan dan nikmat, sebuah kesempatan langka yang seharusnya jadi bagian dari keseharian.

Kopi yang pelan dan nikmat. Bukan kopi instan. Bukan kopi tembak (yang biasa disajikan dalam cangkir kecil, padat dan pekat kafein). Kopi pelan dan nikmat jadi bagian dari pemulihan. Membiarkan kepala untuk tidak memikirkan apapun, membiarkan lamunan dan gagasan bertabrakan pada setiap sesapnya.

Ada waktu-waktu yang kita gunakan untuk bekerja keras, kadang bahkan harus berenang melawan arus. Namun, selalu sisakan waktu untuk bernafas dalam-dalam. Seperti waktu untuk menikmati kopi dengan pelan dan nikmat. Atau waktu untuk jalan kaki di sekitar tempat tinggal (boleh saja kalau mau sambil bermain Pokemon Go). Atau waktu untuk sekadar kelonan dengan orang tersayang.

Momen-momen pemulihan itu yang bakal memberi kita kekuatan untuk maksimal dan optimal. Selingi gerusan kerja keras dengan kopi yang pelan dan nikmat itu. (Jika tidak suka kopi, ganti dengan wedang lainnya) Selingi usaha dengan momen-momen pemulihan, karena kita butuh untuk berjalan lebih jauh. We’re in this for the long haul.

(Tulisan ini tidak disponsori oleh perusahaan kopi manapun. Sumpah!)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com