Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wali Kota di Australia Ancam Gugat ChatGPT gara-gara Skandal Suap Pejabat Indonesia

Kompas.com - Diperbarui 08/04/2023, 07:11 WIB
Caroline Saskia,
Wahyunanda Kusuma Pertiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Seorang pejabat di Australia dikabarkan akan menggugat Open AI, perusahaan yang mengembangkan chatbot berbasis AI (Artificial Intelligence/kecerdasan buatan) ChatGPT.

Pejabat tersebut adalah Brian Hood, Wali Kota Hepburn Shire, Victoria, Australia, yang mengancam akan menggugat OpenAI apabila tidak segera memperbaiki kekeliruan informasi yang diberikan ChatGPT soal dirinya.

Kuasa hukum yang mendampingi Hood, James Naughton mengatakan telah memberi OpenAI tenggat waktu selama 28 hari untuk segera memperbaiki informasi yang salah atau penyelesaian masalah akan dilakukan di meja hijau, alias pengadilan.

Namun, hingga saat ini, perusahaan dilaporkan belum memberi respons atau tanggapan lebih lanjut. Hal ini akan menjadi kasus gugatan pertama yang dihadapi ChatGPT sejak didirikan pada November 2022 lalu.

Kekeliruan tersebut bermula dari ChatGPT yang salah memberi jawaban ketika ditanyai pertanyaan “Peran apa yang dilakukan Brian Hood dalam kasus suap Securency?”.

Baca juga: ChatGPT Dilarang Dipakai di Italia

Menurut jawaban ChatGPT, Hood disebut pernah terlibat skandal penyuapan ke salah satu pejabat di Indonesia dan Malaysia.

“Brian Hood merupakan salah satu mantan eksekutif Securency yang terlibat dalam skandal penyuapan. Pada 2011, ia dijatuhi tiga dakwaan, yakni konspirasi untuk menyuap pejabat asing di Indonesia dan Malaysia, serta dakwaan membuat pembukuan palsu," begitu tulis ChatGPT.

Chatbot tersebut juga menyebut bahwa Hood mengakui dakwaan tersebut dan dijatuhi hukuman penjara.

"Hood mengaku bersalah atas tuduhan yang diberikan pada 2012 dan dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun 3 bulan," begitu informasi yang disebutkan ChatGPT soal Hood, sebagaimana dihimpun dari The Sydney Morning Herald.

Tangkapan layar jawaban ChatGPT ketika ditanya peran Brian Hood dalam kasus penyuapan Securency di Australia. Brian Hood menyebut bahwa ChatGPT memberikan jawaban yang keliru.The Sydney Morning Herald Tangkapan layar jawaban ChatGPT ketika ditanya peran Brian Hood dalam kasus penyuapan Securency di Australia. Brian Hood menyebut bahwa ChatGPT memberikan jawaban yang keliru.

Kasus Securency adalah kasus penyuapan yang dilakukan agen percetakan uang kertas bernama Securency sekitar 2011 hingga 2012 lalu. Berdasarkan kisah sebenarnya, saat kasus penyuapan terjadi, Hood-lah yang melaporkan hal tersebut ke pihak berwenang dan jurnalis lokal.

Artinya, Hood adalah whistleblower alias pihak yang mengungkap skandal tersebut, bukan pelaku.

Tahun 2014 lalu, Kedutaan Besar Australia di Jakarta juga sudah memastikan bahwa tidak ada keterlibatan pemerintah Indonesia dalam skandal Securency.

"Pemerintah Australia menekankan bahwa Presiden dan mantan Presiden Indonesia bukan pihak yang terlibat dalam proses pengadilan Securency," demikian pernyataan pers yang dibuat dalam versi bahasa Indonesia di situs Kedubes Australia yang terbit tahun 2014 silam.

Dengan demikian, jawaban yang diberikan ChatGPT mengenai Brian Hood dan skandal Securency, adalah informasi yang kurang akurat dan tidak update.

Saat pertama kali mengetahui hal tersebut, Hood mengaku kecewa sekaligus marah. Kekeliruan jawaban yang diberikan ChatGPT sangat berdampak pada reputasinya sebagai Wali Kota di Herpburn Shire. Orang-orang yang tidak mengetahui kasus sebenarnya akan salah menilai Hood.

“Saya merasa sedikit mati rasa (akibat terlalu kaget) karena itu salah, sangat-sangat salah, dan itu mengagetkan. Dan saya merasa cukup marah terkait hal ini,” ujar Hood.

Maka dari itu, guna meluruskan masalah yang ada, Hood meminta OpenAI sebagai perusahaan yang menaungi ChatGPT untuk segera melakukan revisi dari jawaban yang salah.

Baca juga: Saat ChatGPT Berikan Diagnosis Penyakit Anjing Lebih Akurat...

Kasus pertama yang libatkan AI

Jika OpenAI tidak segera memberi respons dari tenggat yang diberikan dan Hood benar-benar mengunggat ChatGPT, kasus ini akan menjadi kasus pertama yang melibatkan produk berteknologi kecerdasan buatan, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Reuters, Jumat (7/4/2023).

Senada dengan pernyataan di atas, pakar pencemaran nama baik dari Universitas Sydney, David Rolph juga mengatakan bahwa kasus pencemaran nama baik pertama yang digugat oleh Hood adalah hal pertama di Australia.

“Ini adalah kasus pencemaran nama baik pertama yang saya dengar di Australia, (dan) itu dilakukan oleh ChatGPT atau kecerdasan buatan,” ujar Rolph kepada The Sydney Morning Herald.

Terlepas dari hal itu, Naughton justru menilai bahwa kasus ini akan menjadi momen penting. Dikarenakan pihak regulator, alias pemerintah, bisa menerapkan undang-undang pencemaran nama naik ke area yang lebih luas, seperti produk AI dan publikasi di internet.

“Dia adalah pejabat terpilih dan pusat dari perannya adalah reputasinya. Akan menjadi berbeda jika orang-orang di komunitasnya mengakses materi tersebut,” tambah Naughton.

Di Australia, pelanggaran pencemaran nama baik akan dijatuhkan denda sebesar 400.000 dollar Australia atau setara dengan Rp 3,9 miliar (estimasi kurs Rp 9.988). Namun, denda yang diberlakukan masih belum jelas karena kelanjutan dari kasus ini masih dalam proses.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com