Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU Penyiaran Digodok, Platform Digital Akan Diawasi KPI

Kompas.com - 24/04/2024, 17:17 WIB
Wahyunanda Kusuma Pertiwi

Penulis

KOMPAS.com - Komisi I DPR RI tengah menggodok Rancangan Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas UU No 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran.

Dalam draft RUU Penyiaran 2 Oktober 2023 yang diterima KompasTekno, disebutkan bahwa cakupan wilayah penyiaran akan diperluas. Artinya, RUU ini tidak hanya akan mengatur tentang penyiaran konvensional saja, seperti televisi dan radio, melainkan mencakup platform digital.

Dengan tambahan cakupan wilayah penyiaran ini, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga akan diperluas.

Baca juga: Revisi UU Penyiaran, KPI Bisa Awasi Konten Netflix dan Layanan Sejenis

Itu artinya, seluruh platform digital, baik platform streaming, layanan over the top (OTT) seperti Netflix, Amazon Prime, Disney+Hotstar, dan sebagainya, akan diawasi oleh KPI dan harus tunduk pada UU Penyiaran terbaru apabila sudah disahkan.

Baca juga: Netflix Masih Sumir, KPI Tak Bisa Awasi

Selain perluasan cakupan penyiaran, RUU ini juga akan fokus mengatur soal isi dan konten siaran. Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari.

"Apa isu sentralnya? Ya, isi siaran. Isi siaran adalah tentunya akan menyangkut peraturan terhadap seluruh bentuk siaran, baik menggunakan media apa pun," kata Abdul Kharis, sebagaimana dikutip KompasTekno dari Antaranews, Rabu (24/4/2024).

Ia menambahkan bahwa revisi UU Penyiaran ini akan berisi aturan yang memperlakukan seluruh isi dan konten siaran dari berbagai macam media, baik konvensional maupun digital, akan sama di mata hukum.

"Baik live streaming maupun rekaman, podcast dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV, yang TV walaupun digital pun itu bisa di akses tidak hanya pada saat siaran itu tayang. Jadi statusnya relatif sama," imbuh Abdul.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan revisi UU Penyiaran ini penting lantaran selama ini, belum ada regulasi soal isi siaran layanan media streaming digital.

Sebab, menurutnya, banyak konten yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia.

"Nah, ini semua pengaturannya tidak ada, baik apakah itu sensornya ataupun juga pelayanan kontennya, karena sebenarnya ini penting pemerintah itu harus memiliki otoritas kedaulatan terhadap pelayanannya itu," kata Dave.

Revisi UU Penyiaran juga didukung KPI. Komisioner KPI Pusat Mimah Susanti mengatakan, pengawasan atas media digital penting dan harus diatur sebagaimana media penyiaran konvensional.

Ia berharap, RUU ini bisa segera disahkan untuk mendukung iklim penyiaran Indonesia yang sehat.

"Melindungi masyarakat dari serangan konten-konten media digital internet yang punya potensi merusak karakter jati diri warna dan masa depan generasi muda Indonesia," ujar Mimah.

Baca juga: Kominfo: KPI Tak Bisa Awasi YouTube dan Netflix

Ancam kebebasan pers 

Revisi UU Penyiaran ini mendapat kritikan dari lembaga studi dan pemantauan media, Remotivi dan Aliansi Jurnalis Indonesia. Remotivi menilai, revisi ini akan mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital.

Salah satu pasal yang menjadi sorotan Remotivi adalah pasal 25 ayat 1 tentang wewenang KPI. Pada poin q, disebutkan bahwa KPI berwenang "menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran".

Menurut Remotivi, poin itu memiliki tujuan untuk mengambil alih wewenang Dewan Pers.

"Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draft RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik,” kata Bayu Wardhana, Pengurus Nasional AJI Indonesia dalam dalam konferensi pers secara daring, Rabu (24/4/2024).

Poin lain yang dikritik adalah pasal 56 ayat 2 yang merinci larangan terkait Standar Isi Siaran (SIS). Pada poin c dalam pasal 56 ayat 2, disebutkan bahwa SIS melarang "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Bayu menilai, poin ini akan membatasi karya jurnalistik investigasi.

“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,” kata Bayu.

Dalam kesempatan yang sama, Yovantra Arief, direktur eksekutif Remotivi mengatakan, memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran, tidak tepat.

Sebab, menurutnya platform digital memiliki logika teknologi berbeda dengan televisi dan radio terestrial.

“Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam. Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional" kata Yovantra.

Baca juga: Indonesia Akhirnya Punya Publisher Rights Mirip UU Media Australia dan Kanada

Target rampung tahun ini

Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyebut Komisi I DPR RI menargetkan revisi UU Penyiaran ini bisa selesai dibahas dan disetujui menjadi UU pada tahun ini, bersamaan dengan berakhirnya masa periode DPR RI 2019-2024.

Saat ini revisi UU Penyiaran sudah ada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Apabila telah disetujui oleh Baleg, Komisi I akan membawa RUU ini ke Rapat Paripurna untuk ditetapkan sebagai Usul Inisiatif Komisi I (tingkat I). Setelahnya, RUU akan dikirim oleh DPR ke pemerintah.

"Dari pemerintah akan membuat DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) sandingan (untuk) dikirim ke kita (DPR RI) baru dimulai pembahasan, kalau nanti sudah ada (DIM dari Pemerintah) disandingkan dan sebagainya,” jelas Abdul, dilansir dari laman resmi DPR RI.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com