Pendekatan Inggris sangat berbeda dengan yang diambil Uni Eropa atau bahkan Amerika Serikat, yang sudah mulai mengadopsi langkah-langkah legislatif yang lebih preskriptif. Hal akan berdampak adanya perbedaan pendekatan regulasi AI global.
Perbedaan model regulasi antara Uni Eropa dan Inggris tak terlepas dari sejarah sistem hukum mereka yang amat panjang. Negara-negara Eropa Kontinental, dikenal dengan sistem hukumnya yang berbasis peraturan dan hukum tertulis (perundang-undangan).
Hal ini kemudian sangat mewarnai sistem hukum, di mana kepastian hukum sangat mengandalkan hukum tertulis.
Indonesia adalah negara yang sangat terpengaruh dengan sistem hukum kontinental ini, sebagai pengaruh sistem hukum Belanda.
Sementara Inggris, justru secara historis adalah pusat kelahiran sistem Common Law, yang prinsip dasarnya adalah hukum tidak tertulis. Sistem hukum ini lebih mengandalkan yurisprudensi (case law) sebagai sumber dan kepastian hukumnya.
Negara-negara dengan sistem Common Law yang awalnya relatif kurang memprioritaskan hukum tertulis dan lebih mengandalkan putusan pengadilan sebagai yurisprudensi. Dalam perkembangannya sebenarnya mulai banyak berubah.
Seiring dengan kebutuhan regulasi tertulis sebagai dasar kepastian, keadilan, ketertiban, kemanfaatan hukum.
AS yang di awal perkembangan internet mendorong prinsip internet bebas, non-regulasi dan non-intervensi, akhir-akhir ini justru mulai berubah dan cenderung mengaturnya dalam bentuk regulasi tertulis termasuk soal AI.
Baca juga: Kedaulatan Digital, Sovereign AI, dan Yurisdiksi Negara (Bagian I)
Dapat diprediksi, produk hukum EU AI Act sebagai regulasi AI komprehensif, tidak hanya akan menginspirasi, tetapi akan menjadi pedoman regulasi (regulation guidline) bagi berbagai negara lain di luar Uni Eropa, termasuk lembaga-lembaga standardisasi global.
Selama ini terdapat realitas bahwa produk hukum Uni Eropa kerap dijadikan rujukan, bahkan standar internasional. Dunia layak berterima kasih atas usaha panjang dan berliku yang dilakukan Uni Eropa.
UU AI Uni Eropa adalah contoh regulasi berbasis hukum transformatif. UU ini tidak hanya mengatur hal-hal berdasarkan praktik, perilaku manusia, dan masyarakat.
UU ini justru mengadopsi prinsip-prinsip baru yang lahir karena kecanggihan sistem AI, sekaligus memitigasi risikonya.
Indonesia perlu mengkaji UU ini secara saksama dan detail. Mengingat masyarakat kita sudah secara masif menggunakan AI, terutama saat menggunakan platform digital, media sosial, kegiatan bisnis, Pemerintahan, dan penggunaan chatbot, sehingga perlu segera merumuskan konsep regulasinya.
Bagi Indonesia yang menganut hukum tertulis dan perundang-undangan sebagai sumber hukum terpenting, maka pembuatan regulasi AI sebagai UU adalah keniscayaan. Regulasi harus dibuat dengan prinsip pro inovasi dengan minimalisasi dampak.
Konklusinya, regulasi komprehensif harus disusun secara sistemik dengan terlebih dulu mengkaji AI dan ekosistemnya secara detail dan saksama dari sudut pandang multidisiplin. Pembuatan semacam “Naskah Akademik UU AI” adalah langkah penting.
Pada gilirannya, kita perlu membuat regulasi tentang AI secara komprehensif, sebagai dasar kepastian untuk mendorong inovasi, optimalisasi pemanfaatan AI, dengan tetap meminimalkan risikonya.
AI juga harus didedikasikan untuk kesejahteraan dan masa depan umat manusia. Kita tidak boleh terlambat, karena teknologi ini sudah di depan mata dan dirasakan dengan berbagai manfaat dan dampaknya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.