Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pekerja Migran

Jangan Beri Mereka "Handphone"

Kompas.com - 26/11/2010, 09:09 WIB

KOMPAS.com - Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab, dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.

Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender UI menunjukkan, memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan. Sekitar 80 persen TKW Indonesia mendekam di penjara UEA karena tuduhan kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan laki-laki, termasuk hubungan bermesraan melalui handphone (ponsel).

Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya, pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya, ”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama berbagai persoalan.

Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima. Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.

Pembedaan

Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri, bukan kementerian ketenagakerjaan.

Di rumah aman KBRI Abu Dhabi setiap hari selalu terdapat 60-70 orang TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100 orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.

Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pertama, kontrak di Tanah Air seperti dipersyarakatan UU Nomor 39/2004. Kedua, kontrak antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.

Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh, loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”, ”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.

Relasi ras, kelas, jender

Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi ”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.

Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa ”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com