Dalam UU tersebut, pasal 10 dan pasal 114 menyebutkan, pihak pengelola suatu pusat perbelanjaan bisa saja dijerat pasal pelanggaran hak intelektual tersebut, apabila membiarkan pedagangnya menjual produk bajakan.
Tidak tanggung-tanggung, apabila terbukti bersalah, pengelola gedung pertokoan dan mal yang lalai akan dipidana dengan hukuman denda hingga Rp 100 juta.
"Pengelola bisa dianggap berkontribusi terhadap pembajakan tersebut. Seharusnya, mereka bisa melarang pedagang untuk tidak menjual produk bajakan," ujar Parlagutan Lubis, Direktur Kerjasama & Promosi DJHKI, Kementerian Hukum dan HAM RI, saat memberikan penjelasan mengenai UU baru tersebut di Jakarta, Rabu (13/5/2015).
Akan tetapi, jumlah pengelola yang menyatakan kesiapannya untuk mendukung gedung perbelanjaan yang bersih 100 persen dari produk bajakan masih sangat sedikit.
Di Jakarta saja, contohnya, baru ada satu pusat perbelanjaan yang menyatakan kesiapannya. Parlagutan mengungkapkan bahwa pusat perbelanjaan tersebut terletak di daerah Senayan dan cukup ternama.
"Padahal, masyarakat kalau ke tempat yang menyatakan itu (bersih 100 persen), pengguna tidak akan merasa tertipu mendapatkan produk bajakan dan yakin mendapatkan barang dengan kualitas yang baik (karena asli)," kata Parlagutan.
Selain pasal tersebut, ada satu pasal baru lainnya yang dianggap bisa membuat jera para penjual produk bajakan, yakni UU Haki No 28 tahun 2014 pasal 113 ayat 3.
Isi pasal itu sendiri sebenarnya sudah cukup lama. Intinya, satu individu atau pedagang dilarang untuk menjual produk bajakan.
Dalam revisi pasal ini, pemerintah meningkatkan jumlah denda. Seseorang yang dianggap melanggar pasal tersebut akan dikenakan denda hingga Rp 1 miliar atau kurungan empat tahun.
"Jumlah denda di UU baru ini telah meningkat dua kali lipat dari sebelumnya," bebernya.
Dampak negatif produk software bajakan bagi negara
Di Indonesia, produk yang paling banyak dibajak adalah software.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dengan Makara Mas Universitas Indonesia, perangkat lunak menempati peringkat pertama, sebanyak 33,5 persen, sebagai produk yang paling sering dibajak.
Meski belum memiliki data pastinya, Parlagutan mengaku pemerintah mengalami kerugian cukup besar akibat produk software bajakan tersebut.
Sebuah produk software, jelasnya, seharusnya dijual dengan pajak. Karena software bajakan merupakan produk tidak resmi, sudah pasti produk tersebut tidak akan dikenakan pajak. Pemerintah tentunya mengalami kerugian dari sisi ini.
"Kalau software asli, bakal kena pajak, berarti menjadi pemasukan bagi kas negara. Kalau tidak ada, berarti tidak ada pemasukan bagi negara," kata Parlagutan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.