Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Facebook Tidak Bangun Data Center di Indonesia?

Kompas.com - 08/11/2010, 07:45 WIB

Oleh Dimitri Mahayana Saat ini, dengan jumlah lebih dari 400 juta Facebookers aktif di dunia, 25 persen di antaranya mengakses melalui telepon seluler. Angka ini dua kali lebih aktif dari akses melalui komputer personal/laptop. Di sisi lain, lebih dari 100 operator telekomunikasi di 60 negara di dunia, telah mempromosikan mobile Facebook untuk layanan mereka.

Berdasarkan riset kami, Indonesia adalah negara urutan ke-3 ditinjau dari keaktifan Facebooker-nya. Saat ini, lebih dari 47 persen pengguna internet di dalam negeri mengakses situs tersebut. Jumlah Facebooker aktif di Indonesia mencapai 18,9 juta, dengan trafik menempati posisi ke-8 dunia.

Melihat potensi pasar yang demikian dahsyat, secara ekonomi, sudah seharusnya situs jejaring sosial terbesar ini mendekati pelanggan agar respon lebih cepat dirasakan. Pendekatan ini juga berarti berbagi rejeki dengan daerah-daerah lokal di mana pelanggan berada.

Pertanyaannya kemudian, dengan jumlah pelanggan sebanyak ini, mengapa Facebook tidak meletakkan data center atau kolokasi (collocation) di Indonesia? Ada apa gerangan? Ini tentu amat merugikan bagi Indonesia; yakni, hilangnya kue bisnis, dan kedua, kebutuhan bandwidth koneksi internet internasional terus meningkat.

Coba mari kita hitung bersama. Saat ini, dengan jumlah "ummat" begitu besar, Facebook dikabarkan mempunyai 60 ribu web server, dengan pengeluaran mendekati Rp 500 miliar di tahun 2010 guna biaya sewa.  Jika kita anggap setiap user aktif mempunyai space yang sama, berarti tiap user mendapat alokasi biaya sewa data center sebesar Rp 1.250 per tahun. Jika demikian, jatah sewa data center untuk Facebooker Indonesia adalah sebesar Rp 23,6 miliar per tahun!

Itu baru satu situs. Belum dengan Twitter, Friendster, BlackBerry, Yahoo, Google, dll. Rumor menyebutkan Facebook meletakkan data center-nya di Singapura.  Tentu, di samping situs buatan Mark Zuckerberg ini, top internet site lainnya melakukan duplikasi data di negeri jiran ini. Otomatis, ini mendorong ketertarikan semua industri global untuk collocation di sana. Maka, betapa untungnya Singapura dan betapa ruginya Indonesia.

Ada empat dugaan mengapa Singapura lebih dipilih ketimbang Indonesia untuk hunian data center. Pertama, national security-safety. Harus diakui, tingkat keamanan dan iklim investasi di negeri ini belum setinggi negara tetangga kita.

Kedua, kualitas data center di Indonesia masih tertinggal, baik dari sisi konfigurasi bangunan maupun manajemen operasi. Inilah yang sebenarnya menjadi faktor kunci.

Data Sharing Vision menunjukkan kebutuhan data center oleh industri global rata-rata tier-3. Maksudnya data center dengan segala infrastruktur pendukungnya mempunyai redundansi sebanyak (N+1), sehingga jika data center membutuhkan 2 cooling system dalam operasinya, maka data center tersebut akan mempunyai 3 cooling system. Disamping itu, tier-3 mempunyai multiple path untuk distribusi power dan cooling meski hanya satu saluran yang aktif. Ini membuat proses perawatan dapat dilakukan tanpa mengganggu operasional. Dengan ketentuan di atas, tier-3 mempunyai availability sebesar 99,96 persen atau hanya 1,6 jam waktu down yang diperbolehkan selama satu tahun.

Guna melihat seperti apa data center kelas dunia, sangat penting bagi kita untuk belajar dan melakukan studi banding langsung ke data center paling top di dunia. Itulah yang melandasi Sharing Vision melakukan workshop Visiting World Class Data Center di Singapura pada 2-3 Desember mendatang.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com