Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
MOBILE DIGITAL MOVIE INDONESIA

Cara Anak Indie Mengais Rezeki

Kompas.com - 29/12/2010, 14:12 WIB

KOMPAS.COM - Selesai menuntaskan pembuatan film bertajuk Hope, Santrianov bersama timnya dihadapkan pada persoalan baru. Kali ini bukan tentang mengakali anggaran bikin film yang minim, namun bagaimana film bergenre dokumenter itu bisa ditonton oleh khalayak. Maklum saja, mereka bukan pelaku industri film mainstraim yang ditopang oleh dana besar. “Asal balik modal saja sudah bagus,” ujar Santrianov yang akrab disapa Aan itu. Langkah rumah produksi bernama Bogalakon Pictures itu bak terhenti di tengah jalan.

Padahal film yang bertutur tentang wajah Indonesia sekarang, setelah 12 tahun era reformasi itu, termasuk layak tonton. Pembuatan film ini juga bukan pertama kali mereka lakukan. Sebelumnya para sineas muda yang sempat mengenyam kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung ini pernah merilis film The Jak, juga Romeo Juliet.

Film Hope merupakan hasil kerja keras mereka selama berbulan-bulan dengan pengambilan gambar seperti apa adanya. Lokasi syuting mengambil tempat di berbagai kota di Indonesia bahkan melanglang sampai Malaysia. Adegannya tentu tak dibuat dalam skenario khusus. Makanya banyak momentum memukau sekaligus menunjukkan fakta tentang Indonesia.

Produksi film nasional memang sedang tumbuh. Di bioskop rata-rata per bulan muncul dua sampai tiga film. Artinya jumlah penonton film lokal pastilah tak sedikit. Hampir semua muncul dari perusahaan film mapan. Sebuah film dengan kategori biasa dengan pemain baru saja bisa menghabiskan puluhan milyar. Sementara film Hope, cuma bermodal sekitar Rp 200 juta. Itu pun habis untuk kebutuhan syuting.

“Itu baru biaya produksi,” sergah Ucup panggilan akrab Andibachtiar Yusuf, sobat setim Santrianov. Jika masuk ke bioskop macam Blitz atau Cinema XXI, mereka harus menyiapkan tambahan dana. Sebut saja untuk proses penggandaan, biaya promosi, dan sejumlah komponen lain termasuk ongkos daftar lembaga sensor. “Bioskop sendiri tak mengutip biaya,” tambah Ucup. Jika ditotal, biaya pramasuk studio pemutaran film ini bisa dua kali lipat biaya produksi film. Bahkan lebih.

Celakanya lagi, film-film lokal jika pun antre umumnya berada di barisan belakang. Lantaran kualitas film (baik dari segi cerita maupun teknologi) nasional belum setara film Hollywood, wajar bila pengelola biskop lebih memprioritaskan film made in Amerika itu. “Lihat saja, kalau film Hollywood bisa tayang dua minggu, malah kalau box office bisa sebulan. Kalau film nasional, paling seminggu,” tandas Ucup.

Maka kian kompleks lah persoalan para kreator film bermodal cekak atau yang biasa mengambil jalur independen (indie) itu. Padahal, sejarah film indie di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun bahkan sempat menjadi tulang punggung film nasional sebelum kemudian datang film Ada Apa dengan Cinta? dan membangkitkan produksi film nasional dari kejenuhan film versi sinetron. Bahkan Jakarta International Film Festival pun lahir dari semangat independen yang mengusung film-film alternatif.

Dulu, ketika era VCD menjadi hype, pelaku film indie memproduksi sendiri dan mengemasnya ke plat kompak itu. Lalu, mereka menjualnya secara swadaya.Bisa melalui sistem marketing dari mulut ke mulut, menggunakan email agar bisa ketok tular, atau menggelar pemutaran film di kalangan komuniatas dan menjualnya di situ. Salah satunya dilakukan oleh kelompok Four Colors yang merilis film pendek bercerita berjudul Manyar dari Yogya.

Namun sekarang? Ketika industri digital sudah sedemikian maju, internet menjadi medianya, maka VCD dianggap ketinggalan zaman.Nasib serupa juga dialami oleh penjualan plat digital film yang semakin menurun. Bahkan rental VCD atau DVD pun banyak yang tutup.

Ke mana kah larinya film-film digital ini?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com