Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ke Mana Pun Pokemon Pergi, Tetap Akan Kucari...

Kompas.com - 18/07/2016, 11:30 WIB

KOMPAS.com - ”Akhirnya, kamu akan meninggalkan kota ini (kota Pallet) untuk jadi pelatih Pokemon. Aku akan merindukanmu....” kata Delia Ketchum, ibu Ash Ketchum. Kalimat itu diungkapkan si ibu saat menuruti ”mimpi” anaknya dalam episode pertama film kartun Pokemon tahun 1998. Kini, di dunia nyata, jutaan orang tertaut mimpi itu.

Impian Ash Ketchum salah satunya dirasakan Renaldo Gregorio Tulung (28), pengajar senam di Jakarta. ”Sekarang, dengan adanya permainan Pokemon Go, keinginan umat manusia berkeliling mencari Pokemon tercapai. Dulu, saat masih kecil, sosok Pokemon itu masih imajiner,” katanya.

Meski belum diluncurkan di Indonesia, game Pokemon Go segera menjadi demam baru di Indonesia menyusul demam serupa di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Mereka segera menikmati sensasi permainan berbasis realitas berimbuhan atau augmented reality (AR) yang diluncurkan pada 6 Juli 2016 itu.

Game itu menantang. Para pemain harus aktif berburu dan melatih monster-monster kecil. Keharusan memperoleh level tertentu yang menandai pencapaian membuat para pencandunya tergila-gila berburu.

Menggunakan basis geolokasi, permainan dengan tokoh yang dirilis Nintendo tahun 1990-an itu menyedot perhatian. Pengembang permainan, Niantic, memanfaatkan data geolokasi dari proyek sebelumnya, Ingress, untuk menyebarkan beberapa titik, seperti Pokestop, untuk mengumpulkan barang virtual yang dibutuhkan saat bermain.

Di layar telepon genggam, sensasi AR berpadu dengan kondisi lingkungan nyata di sekitar pengguna game. Ada interaksi nyata di layar ponsel dan lingkungan di sekitarnya.

”Saya suka berburu di sekitar gedung dekat kantor. Banyak Pokemon di sana,” kata Kunthi, pegawai swasta ibu tiga anak di Jakarta Selatan. Ia sudah sampai level 7.

Seperti Kunthi, untuk berburu Pokemon, pemain harus berjalan terus-menerus karena Pokemon bisa ada di mana pun. Renaldo yang tinggal di Kalideres, Jakarta Barat, itu bahkan rela pergi ke Lembang, Bandung.

Bersama empat teman, mereka mendapat Dragonite, Pokemon jenis naga yang jarang ditemui di Jakarta. ”Setelah berburu sampai dini hari, saya jadi flu,” katanya.

Lain halnya dengan Lius Kuntoro (24), Hidwan (24), dan Helen (27) yang memilih berburu Pokemon di pusat keramaian Mall Central Park Jakarta. Berbekal powerbank dan sekantong makanan, Lius dan Hidwan berputar mengelilingi Central Park.

Bersama ratusan pemain lain, mereka berjalan sambil memelototi layar gawai. Sesekali jarinya menyentuh layar untuk menangkap Pokemon atau bertarung memperebutkan Gym (arena Pokemon). Selama satu jam bermain, lebih dari 10 Pokemon berhasil ditangkap Lius. ”Minggu depan mau ke Puncak, Bogor. Di sana banyak Pokemon langka,” ujarnya.

Tak hanya di Jakarta, demam Pokemon Go juga melanda Yogyakarta. Dedy Winarno (26) bermain Pokemon Go saat pulang dari kampusnya di Universitas Gadjah Mada menuju Kulon Progo. ”Biasanya mampir alun-alun dahulu. Di sana banyak Pokemon,” kata Dedy.

Positif-negatif

Sebagai permainan yang menuntut gerak, Pokemon Go dinilai membawa dampak baik bagi penggunanya. Dicky Aditya (19) contohnya. Pemuda Lampung itu sepekan terakhir rajin joging pagi hari.

Berjalan 5 kilometer seperti tak terasa. Tubuh gemuknya berkeringat, asyik mencari Pokemon. ”Ahai… dapat Krabby. Lumayan menambah koleksi. Ini Krabby pertamaku,” ujarnya. Krabby salah satu makhluk imajiner berbentuk kepiting.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com